Jumat, 14 Oktober 2011

The Story Of Us - Part 4

"Never let the fear striking out keep you from playing the game."
Thanks for "A Cinderella Story" movie, you give me some inspiration of this part. Hillary Duff and Chad Michael Murray (Sam & Austin) just like Alison and Stephen :)


"Alison, kau cantik malam ini"
"Hmmm"
"Alison?"
"Ya"
"Kau diam saja sedari tadi. Kenapa? Apa aku mengganggumu sebenarnya?"
"Tidak! Aku hanya.. Hanya…"
"Sudahlah, maafkan pertanyaanku tadi. Kau pasti kedinginan kan? Mau kupakaikan jasku?"
"Umm, tak perlu! Aku hanya.. Tak tau apa yang harus ku bicarakan"
"Alison.. Alison.. Kau tak perlu seperti itu, santai saja"
"Hidup tak adil"
"Atas dasar apa kau berbicara seperti itu? Politis sekali kata katamu"
"Haha, entahlah. Kau tau namaku, sedangkan aku tidak. Boleh ku tau namamu?"
"Panggil saja aku Stephen, Alison cantik"
"Hey Stephen, itu kan lagu Taylor Swift"
"Aku tau itu, Swifty"
"Kau juga fans Taylor?"
"Tidak juga"
"Lalu darimana kau tau?"
"Kau tak perlu tau"
"Sudahlah, kemana kita akan pergi? Sedari tadi kita hanya berjalan sepanjang koridor?"
"Kau kelelahan, Alison?"
"Tidak juga"
"Simpan saja tenagamu itu, aku tak ingin kau lelah malam ini"

Namanya Stephen, dan ia masih menggenggam tanganku.


***

Aku masih terpaku pada pandangan lurus. Terus melangkah kemanapun Stephen membawaku pergi. Aku tak percaya namanya Stephen, nama itu asing di kalangan Princeton. Tapi, wajah dan sosok Stephen tidak asing bagiku. Aku yakin aku pernah mengenalnya, meskipun sekarang aku tak bisa menemukan jawabannya.
Tangan kiriku masih menggenggam erat topeng beraksen keperakan. Detak jantungku kembali normal, tak lagi berdetak keras seperti beberapa menit yang lalu.

"Kau benar benar Stephen?"
"Kau masih tidak percaya?"
"Tidak juga, rasanya sosokmu tidak asing di mataku"
"Tentu saja!"
"Apa?!"
"Hmm,  tentu saja kau pernah mengenalku.."
"Kau anak Princeton?"
"Bukan, aku juga bukan anak Sydney"
"Bagaimana bisa kau ikut Summer Party kalau kau bukan anak anak Sydney? Kau ini sebenarnya siapa?"
"Aku tidak bisa menjelaskan padamu sekarang, Alison. Kau hanya butuh namaku, Stephen"
"Begitu? Kau aneh"
"Tapi itulah aku"
"Kenapa kau mengenalku? Darimana kau tau namaku? Darimana kau tau aku Swifty?"
"Haha.. Kau ini lucu sekali, Alison! Sudahlah, kau akan tau semuanya, nanti. Sekarang, lihatlah kedepan, itu yang perlu kamu tau"

Ku alihkan pandanganku menuju ke depan, dan WOW!
Aku tak pernah mempercayai semua ini, tak pernah sedetik pun aku memikirkan tempat ini di otakku. Bahkan aku tak mengerti bagaimana ini ada di luasnya gedung Sydney Opera.

Gazebo bercorak putih susu dengan pilar pilar kecil yang mengelilingi tepi gazebo.
Dedaunan kecil melilit batangan pilar, dan mawar mawar putih menghiasi batangan pilar tersebut. Lantai gazebo dipenuhi kelopak kelopak mawar putih yang berserakan. Lilin lilin kecil turut menambah ke-romantis-an gazebo di bagian-entah-mana di Gedung Sydney Opera. Tak ada cahaya lampu disini, hanya ada lilin. Jumlahnya pun tak terhitung sama dengan jumlah mawar putihnya. Ada MP3 Player di meja putih kecil dekat gazebo.
Sederhana tapi romantis!
Stephen benar benar telah mengaduk hatiku.

"Stephen.. Kau menyiapkan ini semua?" tanyaku.
"Menurutmu?"
"Stephen! Aku menyukai ini, ya! Mawar putih, gazebo putih, lilin lilin kecil, kau gila?! Semua serba putih dan.. Harus ku akui kau pria yang romantis!"
"Gaunmu juga putih, sama dengan jasku, Alison. Kau tepat memilih gaun! Rupanya aku tak salah memilihmu" kata Stephen tanpa ragu.
"Memilihku?"
"Ya, maukah kau berdansa denganku putri cantik? Aku sudah lama menanti saat saat seperti ini" telapak tangannya mengadah, meminta sesuatu seperti beberapa menit yang lalu. Sesuatu yang membuat hatiku jumpalitan.
"Aku tak cukup pintar berdansa, a-a-ak a-aku…"
"Kau akan melewatkan saat saat ini begitu saja, Alison? Kau akan membiarkan hatiku menunggumu entah sampai kapan?"
"Stephen!"
"Alison, aku ingin saat saat ini menjadi momen yang takkan kulupakan dalam hidupku"
"Stephen, a-a-aku.."
"Pakailah topeng itu, Alison. Takkan ada yang mengenali kita"
"Stephen, aku tak tau siapa kau sebenarnya, tapi… kurasa aku akan menyesal jika aku menolakmu"
"Biar kupakaikan topengmu, Alison. Kau akan kelihatan lebih cantik"
Kali ini aku lebih memilih untuk diam, aku nyaman berada dekatnya. Kubiarkan ia mengambil topeng di tanganku.
"Nah, kau kelihatan lebih cantik, Alison. Maukah kau berdansa denganku? Aku telah mengajakmu dua kali"
"Aku tidak bisa menolak, Stephen"

Tangannya kembali menggenggam erat tanganku, menuntunku kedalam gazebo kecil nan harum mawar putih.
Musik mengalun lembut, diletakkannya tangan kiriku ke bahunya, dan kami mulai berdansa, perlahan. Kutatap wajah misterius-nya di remang remang kegelapan, senyumnya membuat jantungku berlarian. Hey Stephen, siapa kau sebenarnya? Beraninya kau mencuri kepingan hatiku?

Enchanted - Taylor Swift terus mengalun mengawali momen dipukul 21.00 ini.
Masa masa terbaik di musim panas yang takkan pernah kusesali.

This night is sparkling, don't you let it go
I'm wonder-struck, blushing all the way home
I'll spend forever wondering if you knew
This night is flawless, don't you let it go
I'm wonder-struck, dancing around all alone
I'll spend forever wondering if you know
I was enchanted to meet you
Please don't be in love with someone else
Please don't have somebody waiting on you

Dan kami berdansa hingga larut malam tiba.

***

Pukul 21.00
*suasana di Aula Besar*


Summer Party terus berlangsung meriah, berbagai nyanyian menggelegar dan remaja Sydney terus berdansa tanpa kenal waktu. Elyda dan Yosafat, pasangannya sibuk berdansa menikmati lantunan musik yang diputar Nadia. Adelina dan Hadi berbincang bincang, tertawa keras menikmati candaan mereka. Ayuana dan Almira meminta ijin pulang lebih awal, maklumlah jarak rumah mereka agak jauh dari Gedung Sydney Opera. Nanda dan Aulia juga masih sibuk berdansa dibawah rangkaian mistletoe, menikmati saat saat yang mungkin juga takkan mereka lupakan. Seven Angels berdansa bertujuh, berputar putar, menari sesuka hati di tengah Aula, sengaja menabrakkan diri mereka ke Nagita dan pasangannya, mencari sensasi dan berbuat sesuka hati. Monalisa, Revita, dan Yohana tak mau kalah menghabisi jamuan di Summer Party, dan Lorraine duduk sendirian menyantap es krim di gelasnya, ia duduk sendirian tanpa Edmund. Ya, tanpa Edmund.

Edmund, Rifky, Hedva, Faila, Fatimah, Acha berada di atas panggung yang sedaritadi kosong. Nadia merubah genre musiknya. Asyik mengatur tombol tombol yang terus ia kendalikan.
Rifky mengambil michrophone
"Selamat malam, Sydney. Masih kuat meledakkan Gedung Sydney Opera? Baiklah, saya selaku ketua dari Duta Remaja takkan membuang buang waktu berbasa basi disini. Mohon perhatiannya, sayang! Kami berenam akan mempersembahkan lagu untuk kalian semua yang telah hadir di Gedung Sydney Opera. Kami haturkan beribu ribu terimakasih. Ya baiklah, sekarang saatnya. Nadia! Putar musiknya!"

Nadia menekan tombol lagi, yang berwarna hijau menyala. Musik membahana melalui sound system. Dan mereka berenam memegang michrophone mereka masing masing.

A word's just a word, 'Til you mean what you say
And love isn't love, 'Til you give it away
We've all got to give, yeah something to give
To make a change

Send it on, on and on
Just one hand can heal another
Be a part, reach a heart
Just one spark starts a fire
With one little action
The chain reaction will never stop
Make it strong
Shine a light and send it on…


Musik berakhir. Fatimah, Hedva, Faila, Acha, Rifky, Edmund mengucapkan sepatah kata terimakasih diiringi tepukan tangan, siulan, dan jeritan yang terkeras. Semuanya turun dari panggung, kecuali Edmund. Kiranya ia akan menyanyi lagi.

Nadia terus bermain dengan tombol pengatur musik tanpa bosan, sekarang ia memutar lagu When You Look Me in the Eyes - Jonas Brothers.
Edmund terus memegang erat michrophonenya. Mengalihkan perhatian sejumlah remaja, termasuk Lorraine.
"Lorraine, mungkin inilah saatnya aku mengungkapkan semuanya."
Sejumput kata kata yang di ucapkan Edmund menimbulkan bisik bisik di Aula Besar, semua orang berhenti berdansa, Lorraine terkejut. Pipinya merona.

"Aku tau ini pasti konyol, mengungkapkan semuanya di muka remaja Sydney, tapi aku sungguh tidak bisa menahannya lagi….. Aku mencintaimu, Miss. Mandison"

Pipi Lorraine semakin merona, dan semua orang terlihat tak sabar menunggu kata kata yang akan di ucapkan Edmund lagi.

"Aku mencintaimu, Lorraine Mandison" Edmund mengucapkannya sekali lagi.
"Dari palung hati terdalam. Bayanganmu tak mau pergi dari otakku sejak aku mengenalmu. Sekarang, di hadapan remaja remaja terhormat Sydney, Australia, aku akan meminta sesuatu darimu yang sangat kuharapkan" ia mengeluarkan setangkai bunga mawar merah dari dalam jasnya.

Lorraine melangkah maju kedepan, tepat beberapa meter dari panggung tempat Edmund berdiri tegap, menyeruak diantara kerumunan remaja remaja yang sibuk berbisik ria. Hatinya pastilah berdegup kencang. Ia mengatur nafasnya dan terus menatap wajah sumringah tur serius Edmund.

Edmund turun dari panggung mendekati Lorraine, ia akan mengatakan sesuatu yang membuat Aula Besar dan hati Lorraine meledak.

"Lorraine, maukah kau menjadi Juliet-ku?"

***

Aku masih berdansa dengan Stephen, tanpa henti. Harumnya mawar putih, remang remang cahaya lilin, dan musik klasik menemani kami berdua, hanya kami berdua.


"Namamu benar benar Stephen?" tanyaku, lagi.
"Aku bosan dengan pertanyaan itu, adakah yang lain?"
"Baiklah, apakah Stephen benar benar namamu?"
"Kau hanya memutar kata katamu"
"Baiklah, Stephen siapa.."
"Sudahlah Alison, kau tak butuh siapa aku sebenarnya. Kau hanya perlu mengingat momen ini"
"Tapi.."
"Tapi memori-mu penuh? Perlu kubelikan memori 100 giga?"
"Astaga, Stephen!"
"Hahaha, kau lelah berdansa malam ini, Alison?"
"Tidak! Denganmu, aku takkan pernah merasa lelah"
"Wah, wah romantis sekali.. Darimana kau belajar kata kata itu?"
"Entahlah, terlintas begitu saja di pikiranku"

Stephen membisu. Kedua bola matanya lekat menatap mataku seolah menyimpan sesuatu.
Dan kami terus berdansa sampai larut malam.

***

Stephen memang misterius, kehadirannya mewarnai kehidupanku yang kosong bagai selembar kertas putih. Meski aku tidak mengenalnya lebih jelas, seperti alamat rumahnya, asal sekolahnya, tanggal lahirnya, dan sekarang aku menyesal karena speechless yang terus merasuki tubuhku saat bersamanya. Ia hanya memberiku satu  janji, suatu saat ia akan kembali menemuiku, dan sekarang aku mengharapkan sosoknya setiap detik. Aku terus melamun, memikirkan Summer Party, Stephen, gazebo putih susu. Bahkan aku lebih sering memutar lagu Enchanted - Taylor Swift setiap saat. Ku aduk aduk terus milkshake dengan tatapan kosong dan terus menggumamkan namanya. Dan berhenti ketika Alan menegurku.

"Alison, kau mengucapkan nama itu lagi"
"Alaaaaan.. Tak taukah kau rasanya orang jatuh cinta, sungguh kau benar benar menyesal tidak mengikuti Summer Party tahun ini. Stephen benar benar tipikal pria yang romantis"
"Kau mengucapkan kata itu lagi"
"Uhm, sorry.. Tapi memang iya, kurasa ini adalah penyesalan terbesar dalam hidupmu, kau tidak melihat betapa tampannya Stephen"
"Alison! Aku bosan mendengarnya, adakah kata lain selain pria bertopeng aksen keperakan selain Stephen?"
"Tapi hanya Stephen yang mampu menarik hatiku"
"Wah memang, orang jatuh cinta itu egois, hahaha"
"ALAN! Tolonglah, baru kali ini aku jatuh cinta sebegitu dahsyatnya"
"Wah, dahsyat yaa.. Baiklah kembali cerita"
"Dan dia memutar semua lagu  favoritku, dia tau apa yang menjadi kesukaanku"
"Lalu?"
"Huh, aku malas melanjutkan, kau membosankan"
"Ayolaah, eh tapi kau yakin dia benar benar Stephen?"
"Dia menyatakan sendiri padaku kalau dia Stephen"
"Kau percaya padanya?"
"Tentu saja, dia pria yang baik, dan jujur"
"Bagaimana kau tahu?"
"Sudahlah Alan, kau cerewet sekali"
"Baiklah, tapi bolehkah aku bertanya padamu sekaliii lagi"
"Penting?"
"Menurutku penting"
"Katakan!"
"Bagaimana jika ia tidak menepati janji yang ia katakan, ia tidak kembali menemuimu dan kau terus jatuh cinta menanti harapan kosong?"

Dan aku terdiam beberapa saat.

"Dia pasti kembali, aku tau itu"

***

Suasana malam kota Sydney begitu gemerlap, ku lingkarkan syal di leherku sembari menyelusuri tepi jalan bersama Alan. Mataku tak henti hentinya menghadap langit, menatap sejuta bintang yang menari ceria mengajak hatiku terbang bersamanya. Alan sibuk berjalan dan lebih senang melihat jejeran toko yang masih buka menanti pengunjung.
Kucermati 3 titik bintang yang sejajar di langit, dan…

"Hey Alan, coba lihat! Rasi bintang Orion!" seruku
"Sungguh? Mana?" ia ikut mendongakkan kepalanya ke langit
"Kau lihat itu?" tanganku menunjuk ke atas, mencoba memberitahunya
"Ah, aku tidak melihatnya" dan ia menurunkan wajahnya
"Ayolaaah, coba kau lihat lagi"
"Tidaaak!"
"Ayolah Alan, ini hanya sekali dalam seumur hidupmu"
"Kau berlebihan sekali, Alison. Sudahlah, jangan berisik"
"Tapi, lihat sekali lagi, cobaa tengok…. AWWW!!"

Dan dalam sepersekian detik, kaosku telah berlumuran milkshake coklat.
Seseorang menabrakku.

"Sungguh, maafkan aku. Ini salahku tidak melihat jalan, Nona" kataku segera
"Bukan, aku yang minta maaf, aku membuka tutup milkshake ini, sehingga…"
"Aku yang salah, Nona, tak perlu minta maaf"
"Terimakasih"

Ku pandangi miris kaosku yang kini bercorak tumpahan milkshake, dan kualihkan pandanganku saat seseorang di samping nona tersebut berbicara.

"Sebaiknya kita pergi, Aufa" kata lelaki tersebut, yang ternyata adalah..

"Edmund? Kau Edmund? Apa yang kau lakukan disini? Dan kau bersama.. Astagaa? Kau putus dengan Lorraine?" aku terkejut dan langsung menghujaninya dengan banyak pertanyaan.
"Kau kenal dia, Alison?" tanya Alan.
"Ya!! Aku kenal! Dia Edmund, salah satu duta remaja di Sydney, dan dia pacar Lorraine, mereka baru saja jadian saat Summer Party, dan sekarang kau berjalan dengan perempuan lain!"

Edmund tertawa

"Perkenalkan, namanya Aufa Syarisaa, dia dari Indonesia dan dia adalah………"



To be continued..


Well, siapakah Aufa sebenarnya?
Mengapa ia bersama Edmund di gemerlapnya malam kota Sydney?
Dan dimana Lorraine?


0 komentar:

Posting Komentar