Jumat, 03 Juni 2011

The Story Of Us - Part 2

Teruslah menulis selagi kau bisa. Orang yang tidak menghargai karyamu hanyalah iri semata karena tak bisa membuat karya sebagus punyamu. So, jangan berhenti menulis untuk para penulis. Dan, untuk para pembaca. Mengapa kalian tidak mencoba menulis? :) siapa tau menulis adalah bakatmu yang terpendam. Once more, jangan biarkan orang lain menghancurkan karyamu! Just let your soul flow :)

Hari demi hari berlalu, matahari semakin panas dan petang nanti Summer Party akan berlangsung. Waktu seminggu ini ku habiskan hanya di rumah, dilema mengikuti Summer Party masih merasuki diriku, antara ikut atau tidak. Ikut untuk bersenang senang dan perintah ka Nanda dan Alan, tidak untuk tidak mencari masalah dengan Seven Angels.
Alan benar benar enggan pergi ke Summer Party, aku memang tidak terlalu mengharapkannya, urusanku dengan Putu bisa lebih panjang jika aku pergi dengan Alan.
Pagi ini, aku bangun lebih awal. Bukan karena aku rajin, tetapi karena lagu Better Than Revenge - Taylor Swift dari blackberry-ku terlantun keras. Alan menelefonku. Menanyakan tentang acara yang akan aku lakukan di hari ini dan menyuruhku untuk tetap pergi ke Summer Party sedangkan ia tidak. Aku tak mengerti alasan mengapa ia menyuruhku, tapi yang pasti hal itu hanya menambah kerumitan saja.
Tanganku agak sembuh, setelah pengobatan ekstra dari Mr. Kim, kini bekas goresan kaca di telapak tanganku lenyap, Mr. Kim memang benar benar tipikal perawat yang hebat.

Aku keluar kamar dan duduk di sofa ruang tengah, ada Aulia. Ia duduk memainkan biolanya tanpa sadar bahwa aku duduk di sampingnya. Alunan melodinya mengalir lembut, aku tak tau simfoni yang ia mainkan tapi aku menikmatinya.
"Uh, ehm.. Maaf Alison, aku tak melihatmu kemari" ia berhenti memainkan biolanya dan tersenyum melihatku, senyumnya manis.
"Tak apa, mengapa berhenti? Lanjutkan"
"Aku tak menghormatimu jika aku terus memainkannya, kau mau mencoba bermain biola, Alison? Ayolah, aku juga baru belajar dari kakakmu, Nanda. Ia sungguh baik"
"Oh tidak, aku hanya akan merusak suasana saja. Nanda? Ia memang baik, dan kau beruntung mendapatkan pacar sebaik Nanda"
"Kau lebih beruntung, Alison. Kau kan adiknya"
"Tapi kadang ia menyebalkan, pernah ia menyembunyikan jam bekerku ketika aku tertidur, akibatnya aku bangun kesiangan. Untunglah, aku tidak berangkat sekolah hari itu, tapi tetap saja ia menyebalkan. Dan ia membangunkanku dengan mencipratkan air ke mukaku"
"Hahaha, ada ada saja kakakmu itu. Tapi asyik mempunyai kakak sepertinya."
"Bagaimana dengan saudaramu, Aulia?"
"Aku anak semata wayang, Alison. Maka itu, aku belajar biola untuk membahagiakan mamaku. Mamaku ingin sekali aku pintar bermain biola seperti Nanda. Semoga saja, aku bisa melihatnya tersenyum karena permainan biolaku"
"Ku do'akan, pasti. Rajin rajin belajar dengan Nanda, selain jadi bisa, juga mempererat hubungan, hahahaha"

"Alison, apa apaan?" Nanda datang membawa 2 milkshake. Aku dan Aulia cekikikan. Ia memberikan milkshake-nya pada Aulia, dan satu untuk dirinya.
"Mana milkshake-ku?" tanyaku.
"Ambil sendiri di kulkas, jangan pemalas!" ia menyeruput milkshake-nya sendiri.
"Aaargh!!"
Aku berjalan meninggalkan mereka menuju dapur, ku buka daun pintu kulkas, dan tak ada milkshake disana. Sial, ia menghabiskannya. Ku ambil apa saja yang ada di dalam kulkas, karena aku memang haus. Untunglah, Cornetto masih tersisa. Aku kembali duduk dengan Nanda dan Aulia.

"Alison, kami positif pergi ke Summer Party. Edmund, pengurus Summer Party mengabariku kalau aku dan Aulia mendapat undangan pribadi. Kau juga. Kami tak ingin mengecewakan pihak penyelenggara Summer Party. Edmund juga mengatakan untuk tamu undangan pribadi diusahakan tiba di Sydney Opera House pukul 16.00, hanya 44 undangan pribadi, Alison. Dan kami bertiga mendapatkannya. Keuntungannya, kami tak perlu susah susah mencari gaun maupun jas. Untuk tamu undangan, akan di urus masalah pakaian disana, ku dengar penata kostum dan perias disana sangat profesional. Mereka di datangkan dari Indonesia. Tamu undangan itu juga yang menata ruangan untuk pesta nanti. Entahlah, tapi bukankah lebih baik kau menerima undangan pribadi tersebut, Alison?" ia menjelaskan padaku panjang lebar sesuatu yang tak pernah ku duga sebelumnya.
"APA?!?! Aku juga tamu undangan? Astaga kau tau sendiri kan, Nanda? Aku enggan ke acara itu!" aku protes, tapi ada sebersit rasa bangga dalam diriku, karena aku tamu undangan.
"Alison, tenang. Edmund memilihmu, tak ada pilihan lain. Ia kenal baik denganku, dan entahlah ia juga mengenalmu sebagai adikku, aku sudah meminta izin dari mama papa, dan mereka membolehkan. Bahkan papa meminjami mobilnya. Jadi, kau mungkin tak boleh menolak Alison, sudahlah ambil sisi positifnya."
"Terserah saja. Kalau memang aku dibutuhkan disana, aku akan ikut. Siapa saja sih penyelenggara Summer Party yang sebenarnya?"
"Rifky Dippet, Hedva Black, Faila Weasley, Acha Skeeter, Fatimah Finnigan, dan Edmund Lestrange."
"Siapa mereka?" tanyaku, polos.
"Alison! Mereka itu anak pilihan Sydney, anak anak teladan yang menjadi duta remaja di Sydney! Mereka berprestasi dan membentuk suatu organisasi untuk remaja remaja Sydney."
"Brilliant! Bagaimana mungkin mereka menjadi duta?"
"Entahlah, tapi yang pasti, acara Summer Party ini bukan acara sembarangan. Banyak remaja yang akan datang kesana."
"Sebaiknya kau ikut, Alison. Kami berdua janji akan menjagamu" Aulia menimpali.
"Baiklah, aku ikut."

Aku memang tak bisa mengelak, mendapat undangan pribadi dari penyelenggara Summer Party dan di kenal oleh Edmund merupakan hal yang menurutku 'menyenangkan'. Aku tak peduli Seven Angels disana, selama tak ada Alan di sampingku nanti, aku aman.

***

Pukul 15.13
Aku menunggu Nanda menjemput Aulia di balkon rumah. Penampilanku biasa saja, kaos putih bertuliskan "FEARLESS", celana jeans hitam selutut, dan sneakers putih andalanku, aku tidak menggunakan dress, high heels, atau apapun untuk pergi ke Summer Party, tentu saja karena tamu undangan tidak di perbolehkan memakai dress maupun jas. Aku agak geli mengingat diriku benci menggunakan dress, apalagi wajahku nanti akan di poles sedikit dengan orang yang belum tentu aku kenal. Siapapun perias itu, aku akan memintanya tidak menggunakan banyak alat alat make up di wajahku.

Drrrt.. Drrrrt..
Blackberry-ku bergetar.

Alison, terimakasih kau memang sahabat sejatiku. Maaf aku tak bisa hadir di SP. Aku tak ingin berpapasan dgn Putu, aku yakin, kau pasti dansa dengan seseorang nanti. Bersenang senanglah, ceritakan semuanya padaku kalau kau pulang nanti. Have fun, Alison!

Alan

Mulutku membentuk lengkungan kecil, aku tersenyum. Alan, kau sahabatku sedari dulu, sekarang, nanti dan selamanya. Namamu terukir dalam sejarah klasik hidupku :)

Deru mobil membatalkan niatku membalas sms-nya. Aku berlari turun ke ruang tengah dan menemui mama papaku yang sibuk menonton acara tv kesayangannya.

"Mama, papa.. Aku dan Nanda pergi sekarang, mungkin tengah malam nanti kami pulang, kami janji takkan pulang pagi. Dan papa terimakasih atas mobilnya"
"Hati hati, Alison. Bersenang senanglah, jaga dirimu baik baik" mama mencium keningku.
"Sampaikan pada kakakmu, hati hati mengendarai mobil papa"
"Terimakasih pa. Aku berangkat ya, papa mama, selamat sore"

Aku setengah berlari ke luar rumah, klakson mobil mengagetkan langkahku. Nanda pasti tak sabar! Aku menutup pagar rumah dan masuk ke dalam mobil. Nanda dan Aulia duduk di depan, aku sendiri di belakang.

"Siap, Alison sayang?" tanya Aulia.
"Sudah, jangan banyak tanya, ayo berangkat!!"
"20 menit lagi kita sampai di Sydney Opera House, aah.. Aku tak sabar, tempat itu memang luar biasa menakjubkan" seru Nanda.

Nanda menyalakan mesinnya dan kami bercanda sepanjang jalan untuk menghindari jenuh.

***

Pukul 15.40, aku menjerit histeris dan terpana dengan apa yang ku lihat sekarang. Sydney Opera House didepan mata! Jarak rumah ku dan Sydney Opera House memang agak jauh, maka dari itu aku hanya sekali dua kali melewati gedung ini. Ini pertama kalinya aku akan memasuki gedung Sydney. Nanda memarkirkan mobilnya di halaman depan gedung, beberapa mobil juga disana. Tampaknya kami bertiga hadir lebih awal. Aku keluar dan membiarkan udara segar menerpa rambutku, ku sapu pandangan di sekelilingku. Memang menakjubkan, hingga tak dapat ku lukiskan dengan kata kata. Laut, Sydney Harbour, Sydney Harbour Bridge, gedung unik menyerupai cangkang. Australia pasti bangga memilikinya. Gedung ini menjadi ikon tersendiri bagi Australia. Lamunanku buyar dengan panggilan seseorang.

"McCartney, Fletcher. Aaah, akhirnya kalian memenuhi undangan pribadi kami. Perkenalkan, saya Edmund Lestrange" ucap pria tersebut. Oh, jadi itu yang namanya Edmund. Matanya sipit, rambut pirang, dan kulitnya agak kecoklatan, tingginya 5 cm lebih tinggi dariku. Gayanya kasual, kaos putih sama sepertiku, hanya saja celananya panjang dan ia mengenakan jaket. Ia menjabat tanganku, Nanda, dan Aulia.
"Aaah, ini pasti Alison, adik Nanda. Oh, astaga mengapa kau berpakaian seperti ini, cantik?"
Berpakaian seperti ini? Apa yang ia maksud?! Aku hanya terdiam dan mengumpat dalam hati.
"Maafkan adikku Edmund, tapi ia memang tomboy. Jadi ia lebih suka berpakaian seperti itu"
"Tak apa nand, dan ini pasti Aulia, anggun sekali dirimu. Pantas saja Nanda menyukaimu, Aulia" goda Edmund.
"Terimakasih Edmund, tapi sebaiknya kita masuk ke dalam dan membantu yang lain menyiapkan pesta, Alison tak senang kau terus terusan berbicara seperti itu, Ed!" kata Aulia.
"Oh.. Maaf maaf, aku akan disini menyambut tamu lainnya, untuk masalah persiapan pesta, temui saja Fatimah, ia halaman samping"
"Terimakasih!!" aku ucapkan kata itu, tanpa ikhlas. Dan Nanda menyeret tanganku.

Kami bertiga berjalan menemui Fatimah, huh! Semoga saja kakak kakak duta lainnya tak se-tengil Edmund, Edmund menyebalkan sekali!

Halaman luar Sydney Opera House tampak biasa saja, tak ada rerumputan atau taman seperti beberapa meter dari halaman belakang gedung. Hanya ada lampu lampu berjejeran mengelilingi tepi gedung dan lain lain, tapi aku tak mementingkan itu. Akhirnya kami menemukan Fatimah, tak susah untuk mengenalinya. Karena setiap duta mengenakan kartu pengenal yang di kalungkan. Ia membawa kertas lembaran di tangannya. Rambutnya hitam kecoklatan, matanya agak besar dan ia mempunyai senyum yang manis, bagiku. Ia memakai baju lengan panjang warna kuning dan celana jeans. Sekilas ketika ku lihat penampilannya ia anak yang ramah, dan ternyata benar.

"Siapa kalian?" tanyanya dengan suara lembut.
"Oh, maaf. Saya Nanda McCartney, ini adik saya Alison McCartney, dan kekasih saya, Aulia Fletcher, kami tamu undangan." jawab Nanda tanpa malu.
"Oh, McCartney, Fletcher. Senang sekali bertemu dengan kalian, segeralah masuk dan bantu lainnya. Acha dan Rifky sedang kesusahan menata lampu lampu di Aula Besar, kau bisa membantunya kan Aulia?" tanyanya lagi.
"Tentu bisa Fatimah."
"Terimakasih Aulia, pukul 17.30 nanti, kalian bertiga sebagai tamu undangan memasuki ruangan di sebelah kiri Aula Besar, kalian pilih gaun / jas yang kalian inginkan, jangan khawatir. Perias kali ini bukan sembarang orang, selamat menikmati" jelas Fatimah.

Kami bertiga berjalan memasuki Sydney Opera House. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di lantai gedung tersebut. Pandanganku kesana kemari, dan senyuman di mulutku mengembang. Kami terus melangkah dan akhirnya kami menemukan kesibukan kesibukan di Aula Besar, oke Aula ini benar benar luar biasa luas. Ada yang menyiapkan panggung kecil, menata lampu lampu kecil, menata gelas dan jamuan jamuan di atas meja, merangkai daun mistletoe untuk dijadikan hiasan, membersihkan lantai Aula, menata bentuk meja dan lainnya. Aku takjub, sepertinya Summer Party ini bakal meriah!

"Hedva! Hedva! Dimana harus ku letakkan piano ini?"
"Adelina! Berikan dedaunan mistletoe ini pada Faila!!"
"Dewy! Jangan taruh gelas sembarangan!"
"Syasya!! Cek sound system panggung!"
"Rani! Bantu Elyda menyiapkan kue tar karamel!"

Mulutku ternganga melihat apa apa yang tak bisa kujelaskan, tempat ini sungguh luas! Dengan langit langit berwarna jingga kemerahan, panggung kecil untuk berbagai penampilan nanti, pualam tangga kecil nan luas bertengger disebelah kanan, dan disebelah aula ini pasti masih ada aula lainnya, karena ku lihat ada cahaya cahaya ungu menembus jendela kecil atas dekat langit Aula.

Nanda menepuk bahuku.
"Indah kan Alison? Kau takkan menyesal"
"Luarbiasa menakjubkan, ini hebat!!"
"Baiklah Alison, aku dan Aulia harus membantu Acha dan Rifky menta lampu lampu, kau tak apa kan kami tinggal? Kau bisa membantu lainnya" kata Nanda.
"Oke"
Mereka meninggalkanku dan akupun berjalan membantu dua orang gadis yang sibuk menata berbagai makanan di atas meja sebelah kiri.

"Permisi, bisa ku bantu kalian?"
"Oh tentu saja, kau tamu undangan kan? Siapa namamu, cantik?" tanya perempuan yang mengenakan kaos panjang warna ungu, rambutnya tergerai.
"Umm, namaku Alison McCartney, panggil saja Alison, bagaimana dengan kalian?"
"Aku Helen Annelyse Claire, dan ini kakak saya, Fifi Andrian Claire, kau bisa memanggilku Helen, dan kakakku cukup di panggil Fifi" jelas perempuan satunya, ia mengenakan kaos yang sama dengan Fifi, hanya warnanya merah muda.
"Senang bertemu denganmu, Alison" kata Fifi.
"Ehem, jadi kau akan berdansa dengan siapa malam ini Alison? Aku yakin kau akan tampil sangat cantik malam ini?" tanya Helen.
"Entahlah, aku tak mempunyai pasangan, aku tak bisa berdansa. Lihat saja gayaku, bahkan aku hanya mengenakan kaos kesini. Bagaimana denganmu, Helen?"
"Aku dansa dengan kakakku, Fifi. Bukan begitu kan?"
"Tentu saja, adikku. Kita akan berdansa sampai larut malam, lalu kita menikmati seloyang es krim rasa blueberry kesukaan kita."
"Benar, lebih baik seperti itu. Kita have fun!" seru Helen yang membuatku tertawa kecil.
"Kalian benar benar kakak adik yang kompak. Aku juga mempunyai kakak, dia baik dan menyenangkan." kataku.
"Siapa dia Alison? Apa dia disini?" tanya Fifi.
"Oh ya, namanya Nanda. Itu dia! Dia sibuk memasang lampu lampu bersama Acha, Rifky, dan Aulia."
"Oh, dia.. Kau tak berdansa dengannya?" Fifi masih saja menanyaiku.
"Tidak, ia dansa dengan Aulia, pacarnya."
"Maaf, aku tak tau. Alison, bisakah kau letakkan pai apel ini di meja sana?" pinta Helen, ia menunjuk ke arah tiga perempuan yang memang sibuk menata pai.
"Tentu saja" ku angkat loyang berisi pai dan ku hampiri mereka yang Helen maksud.

"Permisi, meja disebelah sana penuh. Dan kurasa teman saya, Helen meminta pai ini agar diletakkan di sini, tidak keberatan kurasa?"
"Tak apa. Biar kubantu letakkan, apa kau bisa menata gelas gelas ini? Aku akan menata pai pai. Masih banyak yang perlu kita kerjakan" kata perempuan berambut merah.
"Oke, tak masalah"
"Siapa namamu? Kau cantik sekali" tanya perempuan yang memakai blazer abu abu.
"Alison, bagaimana dengan kalian bertiga?"
"Tarra" kata perempuan bersyal putih.
"Almas" rupanya si blazer abu abu itu Almas.
"Nagita" semuanya memperkenalkan diri mereka padaku. Dan aku membantu mereka menata gelas, sesudah itu ku bantu Fifi dan Helen menata puding.

 Tanpa terasa sejam berlalu, saat ini pukul 17.13 dan semua 44 tamu itu berkumpul di balkon panjang dekat pualam tangga. Rifky dan Edmund memimpin kami semua, sedangkan Hedva, Fatimah, Faila dan Acha sibuk berbincang bincang dengan banyak orang. Hmm, mungkin mereka pengurus gaun dan perias. Karena ku lihat, ada seseorang dari mereka yang berkulit sawo matang dan berambut hitam kelam. Itu bukankah ciri ciri orang Indonesia?
Hedva mengambil alih barisan kami, dan mengatakan sesuatu.
"Kalian lihat 100 orang Indonesia itu kan? Mereka-lah yang akan mengurus penampilan kita nanti. 50 dari mereka akan membantu memilih gaun maupun jas, sedangkan 50 lainnya dalam bagian merias. Satu orang mendapat satu penata kostum dan satu perias, karena jumlah tempat hanya 25, kuharap kalian memilih salah satu teman teman disamping kalian. Setelah kalian siap, kalian bisa menuju pintu itu. Segera pilih tempat kalian dan pilih gaun sesuai selera kalian!!" Hedva menjelaskan panjang lebar dan kami hanya menganggukkan kepala tanda mengerti.
Akhirnya, semua anak sibuk mencari pasangan mereka, Helen pasti dengan Fifi. Sebelum aku bergerak mencari pasanganku, seseorang telah memanggil namaku
"Alison! Alison!" rupanya Tarra.
"Kau mau denganku kan? Almas dengan Nagita, dan aku tidak bisa dengan sembarang orang" ucapnya sekali lagi.
"Tentu saja!"
Aku bersama Tarra. Kami berjalan ke arah kiri, menuju ruang pemilihan gaun dan periasan wajah. Aku senang memilih gaun, tapi aku benci dirias! Aku masuk menuju ruang itu dan ya! Ada 25 pintu dan kami harus memilihnya, God.. Aku canggung dan keringat dingin membanjiri kulit tanganku. Akhirnya, aku dan Tarra memilih ruang nomor 13.

***

"Hai! Nama saya Tami Amira Prabuningrat, dan ini rekan saya Emil Khasyahreza. Kami dalam bagian pemilihan gaun, ku harap kalian berdua menyukai gaun asli buatan Indonesia."
Sambutan hangat dari Tami melambatkan detak jantung yang sedari tadi berjumpalitan. Emil hanya tersenyum kecil melihat aku membuang nafas, lesung pipinya membuat senyumnya manis. Aku masih menatap mereka berdua, tapi Tarra teralihkan dengan sosok dua lelaki yang sedari tadi juga memperhatikan kami.
"Ka-kal-kalian pe-perias?" tanya Tarra terbata bata
"Yap! Kau benar sekaleh" jawab lelaki yang memakai topi baret dan kacamata hitam, suaranya tidak berat seperti lelaki lainnya, agak kasar, serak, dan ehm intonasinya 'lambat'.
"Siapa nama kalian?" tanya lelaki satunya.
"A-a-aku Alison, dan ini teman saya Tarra" ujarku.
"Oh, senang bertemu denganmu, cepat kalian pilih gaun kalian lema belas menit, eke tunggu sini" ujar lelaki berkacamata hitam itu, lagi.
"E-e-eke?" tanya Tarra keheranan
"Eke bo, Rudy! Jangan banyak tingkah!" teriak Tami.
"Eke dalam bahasa Rudy artinya saya" jelas Emil.

Tarra menarik tanganku, dan mengatakan permisi dengan sedikit canggung, ia menarikku keluar.
"Alison! Alison! Matilah kita ruang 13, periasnya banci!"
"Ba-banci? Apaan?"
"Banci! Cowo tapi kelakuannya lemah lembut kaya cewe, jadi bisa dipastikan ia mungkin lebih lembut darimu, Alison. Orang Indonesia menyebutnya banci"
"APA?! Gila, darimana kau tau?"
"Aku pernah mencarinya di internet, dan kurasa…"
"Jangan lanjutkan Tarra, tenanglah, toh cuma Rudy yang berlagak banci, kau tak ingin membuat mereka kecewa kan? Ayolah, masuk!"
"Alison, a-a-akuu.."
"Diamlah, orang Indonesia terkenal akan sopan santun dan keramahannya. Buang jauh pikiranmu, dan kita tunjukkan bahwa orang Australiapun ramah "

***

"Kau mau yang ini, Alison?" Tami menunjukkan gaun lengan panjang berwarna biru.
"Umm, ehm, sepertinya tidak"
"Baiklah, bagaimana dengan ini?" gaun warna hijau muda, dengan pita kecil di bagian pinggang, aku menyukainya sayang tinggi roknya diatas lutut.
"Emm, tidak"
"Haduuh, Alison, ribet amet daah, ambil noh itu yang warna pink kan canteek" Rudy menimpali. Cara ia berbicara benar benar kacau.
"Sudahlah Rudy, biarkan Alison memilih! Lagipula, masih ada waktu 1 jam" kata Emil.
Tarra memilih gaun tanpa lengan, roknya di bawah lutut 5 cm dan sedikit mengembang. Warnanya ungu. Bagian atas ada sedikit jahitan bunga bunga kecil berkelopak lima.
Cantik, kurasa. Kalau saja aku lebih cepat dari Tarra, gaun itu pasti sudah kukenakan, sayang kali ini harus mengalah.
Aku masih menatap 'serius' ke dalam lemari kecil itu, gaun gaun berjejeran mengembang dan hmm, semuanya memang bagus. Indonesia benar benar hebat!
Tatapanku berhenti ketika aku melihat gaun mungil yang menarik perhatianku. Sepertinya aku pernah melihat gaun itu.
"Emm, Tami, bolehkah aku melihat yang ini?" pintaku.
"Tentu, kami baru membuat gaun ini sebulan yang lalu. Huh, sulit membuatnya, bahannya pun harus di impor dari Inggris, kami meniru model aktris Bonnie Wright, dan sedikitnya kami tambahkan kreasi kami sendiri" jelas Tami panjang lebar, di berikannya gaun itu padaku.
"Oh astaga! Pantas aku pernah melihatnya, ini gaun yang dipakai Ginny Weasley di Yule Ball, ingat Harry Potter seri 4!!" teriakku girang.
"Memang! Rupanya kau hafal film Harry Potter, Alison" kata lelaki selain Rudy, yang ternyata namanya Satria.
Warnanya agak berbeda, jika di film adalah oranye dan hijau. Yang dibuat Indonesia adalah putih dan dicampur sedikit polesan warna merah muda dan ungu. Kurasa aku menyukainya, meskipun bukan trademark. Aku akan tetap memilihnya.
"Biar kuambil yang ini" kataku.
"Baiklah" ujar Emil sambil menaruh kembali gaun gaun yang 'berantakan'.
"Oke, Alison, Tarra.. Sekarang kalian pakai gaun itu, dan kami akan merias kalian" perintah Satria.

***

"Alison, kau mau lipstik warna apa?"
"Terserah, aku mau yang natural!"
"Merah?"
"Jangan"
"Biru?"
"Menjijikkan!"
"Hijau?"
"Apa?!"
"Hitam?"
"Rudy, berhenti!!" Tami berteriak, lagi.
"Eke mah bingung, Alison ribet di rias dah. Noh Alison, liat. Tarra cantekz boo, dirias Satria. Nah, dirimu banyak protes, jangan buat eke pusying!" Rudy tak mau kalah berteriak. Oh tidak, gendang telingaku bisa pecah!
"Rudy, kau dengar kan? Alison benci dirias dan dia ingin natural. Kau bisa gunakan warna merah muda untuk lipstik. Dan untuk blush on kau juga bisa gunakan warna merah muda. Tak usah terlalu tebal, kita harus melayani yang terbaik!" celoteh Emil.
Kupandangi diriku di cermin besar didepanku, dibelakangku orang aneh bernama Rudy sibuk mengeluh sambil memegang sekotak besar berisi 'lipstik'. Meja di depanku penuh dengan berbagai macam alat kosmetik yang aku sendiri tak tau namanya. Aku tak peduli, dan aku hanya menelan ludah.

Ternyata aku memang benar benar benci dirias!

0 komentar:

Posting Komentar