Sabtu, 11 Juni 2011

The Story Of Us - Part 3

Bab ini mungkin terlalu panjang, tapi percayalah, aku telah merangkainya dengan hati hati, seperti merangkai daun daun mistletoe untuk Summer Party :)
Enjoy reading, semoga tidak mengecewakan..


"Psst.. Psst.. Siapa dia? Yang berambut ikal di gerai, yang memakai gaun putih campuran pink-ungu? Sungguh ia cantik sekali!"
"Entahlah, ia terlihat sangat anggun, walau tak ada hiasan di rambutnya, ia tetap terlihat cantik"
"Siapapun yang berdansa dengannya, pasti beruntung!"
"Anak mana dia? Aku baru tahu ada gadis secantik dia di Sydney!"

Bisik bisik itu terdengar di telingaku kala aku berjalan di balkon panjang dekat pualam tangga Aula besar. Warna warni gaun dan hitam kelamnya jas memadati Aula besar di Gedung Sydney Opera. Acara belum dimulai, dan aku masih berdiri mematung menanti siapa saja yang mau mengajakku berbicara. Nanda dan Aulia belum keluar dari ruang periasan. Kaos "FEARLESS"ku telah kuletakkan di loker samping 25 ruangan tersebut. Aku tertawa kecil saat mengingat bagaimana aku kesusahan membuka pintu loker, untung Edmund membantuku dan ia tak se-tengil saat pertama kali aku menjumpainya. Sekilas saat ku lihat dirinya mengenakan jas, aku tak percaya dia adalah Edmund. Edmund terlihat tampan, kemeja putih polos yang ia kenakan, dilapisi jas hitam yang ia rekatkan dengan kancing bundar hitam senada dengan warna jas.
Ada dasi kupu kupu melingkari kerah di lehernya. Aku agak kikuk ketika melihatnya tertawa kecil saat melihat penampilanku mengenakan gaun. Cantik dan anggun, katanya.

"Alison!" seseorang memanggilku, Edmund.
"Ada apa?"
"Kau sendirian? Mana pasangan dansamu?" tanyanya.
"Aku tak mempunyai pasangan"
"APA?! Ulangi!" jeritannya benar benar memekakkan telingaku.
"Aku tidak mempunyai pasangan, Ed. Jadi, aku juga takkan berdansa" jawabku polos.
"Dengan penampilan sesempurna ini, kau tak berdansa?" sial, pertanyaan itu membuat pipiku memerah.
"Umm, ehm.. Mana mungkin ada yang mau dansa denganku? Sudahlah, kau sendiri mana pasanganmu?"
"Ia belum datang, mungkin sebentar lagi. Oh, ia benar benar lamban" keluhnya.
"Sudahlah, lagipula acara belum mulai, siapa sih pasanganmu itu?"
"Lorraine Mandison. Gadis paling populer di kampusku, Riverdale University. Aku mengajaknya, ia pasti datang. Dan ia pasti akan cantik sepertimu"
"Kau mencintainya, Ed. Ekspresimu yang berkata padaku, haha.. Tepat sekali! Kau bisa mengungapkan perasaanmu malam ini!" ujarku, entahlah ia kelihatan menyenangkan sekarang.
"Benarkah? Entahlah Alison, aku tak begitu yakin ia akan menerimanya."
"Kau pesimis, kalau aku jadi kamu, aku harus optimis kalau dia pasti mau menerimaku. Kau kurang apa sih Edmund Lestrange? Kau tampan, jenaka, dan terkenal. Lagipula kau juga duta remaja di Sydney." aku mencoba menghiburnya.
"Terimakasih Alison, kau baik sekali.. Baiklah, akan kucoba saranmu malam ini, sekali lagi terimakasih Alison" ia tersenyum.

"Edmund!"
Ada yang memanggilnya, kami berdua menengokkan kepala ke asal suara lembut itu. Seorang gadis berjalan di tangga Aula besar menghampiri kami.
"Ah, itu pasti Lorraine" kataku dalam hati, dan ternyata benar. Edmund meninggalkanku dan menjemputnya. Ia membawa Lorraine ke arahku.
"Alison, perkenalkan ini Lorraine Mandison, pasangan dansaku malam ini. Lorraine, ini Alison, teman baruku, ia adik teman baikku, Nanda McCartney"
"Aaah, Alison, senang bertemu denganmu" Lorraine menjabat tanganku.
Benar, Lorraine memang cantik. Ia memakai gaun biru sutra panjang tanpa lengan. Dan tiara perak berkilau menghiasi rambutnya yang pirang dan bergelombang. Penampilannya memukau, menurutku. Jelas saja, ia lebih cantik dariku.
"Hai, Lorraine. Senang bertemu denganmu juga, kau tampak cantik malam ini."
"Aah, tidak juga. Kau lebih cantik dariku, Alison. Beruntung sekali pasangan dansamu, siapa dia?"
"Umm, ehm.. Aku tak mempunyai pasangan dansa, Lorraine. Entahlah, aku hanya akan menunggu seseorang yang mengajakku berdansa"
"Kuharap ada seseorang yang menantimu berdansa. Baiklah, kurasa aku harus meninggalkanmu, Alison. Pesta dansa dimulai beberapa menit lagi. Ayo Edmund sayang, mari kita pergi" Lorraine mengajak Edmund pergi, sebelum..
"Lorraine, kau pergi dulu saja. Aku ingin mengatakan sesuatu pada Alison" kata Edmund.
"Baiklah, sayang" kata Lorraine, sekali lagi dan tanpa ragu. Aku mengerti apa yang Edmund maksud, karena kulihat pipinya merona seperti dipoles blush on warna merah.
Lorraine berjalan pelan menjauhi kami.
"Alison! Alison! Kau dengar apa yang Lorraine katakan?" tanya Edmund, semangat.
"Tentu! Ayo Edmund sayang mari kita pergi! Ahaaaaa, ia bahkan memanggilmu sayang. Pastilah ia menyimpan perasaan padamu, kalau tidak, ia tak mungkin memanggilmu sayang. Cepat atau lambat, aku yakin kalian pasti jadian!" kataku panjang lebar, kami berdua tertawa senang. Edmund salah tingkah.
"Alisoooon!! Ka-ka-kau yang benar saja?! Apa ia menyimpan perasaan padaku selama ini?"
"Iya, Ed, sudahlah.. Menangkan hatinya malam ini juga! Ayo Edmund, aku yakin ia akan menerimamu!"
"Sungguh Alison, kau teman yang luarbiasa. Rasanya seperti mimpi saja." ia bergegas meninggalkanku.
"Ditunggu makan makannya di KFC!!" seruku diiringi gelak tawa.

Mereka berdua berpegangan tangan dan menuruni tangga berbaur dengan pasangan dansa lainnya. Kurasa beberapa menit lagi, Summer Party akan dimulai. Oh sial, apakah aku harus terus berdiri mematung menonton gerakan gerakan sumringah tur semangat mereka? Entahlah, lagipula siapa yang mau berdansa dengan Alison tomboy yang menjelma menjadi putri anggun. Kutatap jam besar di antara hiasan rangkaian mistletoe. Mungkin 2 menit lagi, mereka memadati bagian tengah Aula Besar yang sedari tadi dikosongkan, untuk berdansa tentunya. Mungkin saja.
Ku mainkan jemari tanganku sembari melihat siapa saja yang terlihat. Adelina dan Fatimah sibuk berbincang bincang. Mereka memakai model gaun yang sama, hanya saja gaun Adelina tanpa lengan. Rambut Adelina pun di gelung, Fatimah tidak. Meskipun begitu, hatiku bersuara, Fatimah lebih cantik dari Adelina.

Kualihkan pandanganku menuju sebelah kiri, tepatnya menghadap pualam tangga.
Nanda! Kakakku! Lelaki bertubuh tegap dengan jas hitam sewarna dengan jas Edmund. Dan gaya berdirinya, ia pasti Nanda. Disampingnya, gadis cantik dengan rambut dikeriting dan gaun kuning keemasan melingkarkan lengannya ke lengan Nanda, itu pasti Aulia. Tak salah lagi, akhirnya aku menemukan kakakku ini.
Ku angkat sedikit rokku untuk memudahkan langkahku menghampirinya.
Dan 'SPLASH', semua terasa gelap, jeritan terdengar jelas membahana di telingaku. Ku hentikan langkahku ini, ku tenangkan diriku. Tak ada apapun dan siapapun yang terlihat, semua hitam kelam. Semua cahaya di Aula besar Gedung opera ini menghilang, menjauh dari remaja remaja yang beberapa menit lagi akan berdansa. Oh tidak, tak mungkin Gedung Sydney Opera mengalami 'listrik mati', pasti ada seseorang yang mematikan semua arus listrik disini. Pasti!
Keadaan semakin tak karuan, banyak perempuan yang menjerit ketakutan dan dengan gagahnya semua laki laki mencoba menenangkan mereka. Mengatakan bahwa ini tidak apa apa dan sebentar lagi listrik menyala.

Rupanya ini prolog dari skenario Summer Party. Terdengar tawa usil riang tak berdosa mengisi kesunyian dan bisik bisik Aula besar. Tawa laki laki dan perempuan. Kulihat setitik cahaya dari tengah tengah aula besar. Bukan cahaya senter, bukan! Kurasa itu sepercik api dari sulutan korek. Mungkin saja, itu pendapatku.
Suasana sunyi, pikiranku mulai berkecamuk. Menunggu secercah harapan, listrik kembali hidup. Percikan api itu masih ada di tengah tengah Aula besar. Mengundang perhatian semua orang, dan mengundang pertanyaan 'ada apa gerangan?'. Sayang tak ada yang bisa menjawab, kecuali mereka, si penyulut cahaya api kecil. Di sulutkannya api itu ke benda kecil seperti bom, dan di lemparkannya ke atas, ke langit langit yang tak bercahaya.
Astaga, apa mungkin itu bom? Apa mereka akan meledakkan kami semua, memusnahkan kami sebelum kami sempat menyicipi dansa, jamuan? Tak mungkin! Sungguh tak mungkin! Orang orang mungkin akan lari berhamburan menuju pintu keluar menyelamatkan diri mereka. Ya mungkin saja, dan aku akan melepaskan high heelsku, berlari mengikuti kerumunan orang yang ingin selamat itu.
God, sebentar lagi bom meledak di udara.. Sebentar lagi, mungkin 2 detik lagi. Sial, siapa sih Oknum X pencari masalah tersebut?

Ternyata dugaanku salah! Imajinasiku berlebihan!

BLAR! DOR!! TUIIING!!

SPLASH!
Berbagai macam kembang api kecil berwarna warni menghiasi hitamnya langit langit Gedung Sydney Opera. Biru, merah, hijau, kuning, ungu, pink semuanya meledak di atas dan memberikan kesan 'WAW'. Semua orang menyunggingkan senyum mereka dan bertepuk tangan keras. Suitan, tepuk tangan, riuh rendah, gelak tawa, semuanya ikut mengawali prolog Summer Party ini. Aku sendiri sibuk bertepuk tangan keras. Takjub akan kejadian yang sempat membuat darahku berhenti mengalir. Rupanya si penyulut api itu adalah Rifky dan Faila. Mereka berdua diam diam berjalan ke tengah aula dan menyiapkan petasan petasan kecil. Acha mematikan semua arus listrik, dan mungkin saja Hedva yang mengunci pintu keluar supaya tak ada yang melewatkan momen ini.
Belum selesai kembang api itu meledakkan gedung, Rifky melempar petasan yang ukurannya jauh lebih besar ke atas. Dan WAW!
Serta merta petasan itu meledak dan membentuk kata kata "SUMMER PARTY".
Suasana semakin memanas, tepuk tangan terdengar lebih keras, dan teriakan bahagia tak ikut kalah meramaikan serunya acara di pukul 19.00 ini.

Kata SUMMER PARTY itu lenyap tak berbekas di udara dan perlahan listrik kembali menyala. Langit langit Aula besar tak lagi berwarna jingga kemerahan, melainkan ungu bercampur warna pink muda. Pasti Acha yang mengaturnya. 5 detik setelah prolog ini usai, setelah semua kembali terang, suasana dikejutkan dengan seseorang yang berdiri di atas panggung sebelah serong kiri. Panggungnya megah, menurutku. Seseorang itu memakai topi yang dipakai para pesulap, kostum yang ia kenakan pun berdominasi warna hitam dan putih. Hmm, apakah ia akan bermain sulap untuk mengawali Summer Party setelah ledakan ledakan kembang api tadi. Ia membalikkan badannya. Revita! Teman dekat Monalisa di Princeton High School, tampil mistis malam ini untuk mengawali Summer Party. Kukira ia akan melepaskan topinya itu dan mengeluarkan kelinci dari dalamnya, tapi firasatku melenceng.
Revita memegang michrophone dan menjentikkan jarinya, memberikan aba aba kalau ia akan menyanyi. Sound system menggelegar, dan musik genre pop-punk mengalir seperti sungai berarus deras. Aku tahu lagu ini, More - Selena Gomez. Tentu saja, aku tidak hanya menyimpan lagu Taylor Swift di laptop Apple-ku.
Revita mengembangkan senyumnya dan bernyanyi, suaranya tidak jelek jelek amat. Malah bagus, menurutku. Cocok dengan genre lagu yang ia bawakan.
Semua orang bertepuk tangan, lagi. Kiranya ini menambah rasa percaya diri Revita. Dan mereka sibuk mengangguk anggukkan kepala, menghentakkan kaki, mengikuti irama lagu More, sebelum pesta dansa dimulai.

Let's go, what you wanna wait for?
Let's take everything we ask for
Come on and turn it up
Let's tell the world we want more, more, more
I want more!
Let's go, take over the dance floor
You be mine and I will be yours
Come on and let it play
Let me hear you say more, more, more
I want more, I want more!

Revita mengakhiri prolog dari Summer Party dengan sempurna! Mulutnya melontarkan kata terimakasih dan ia berlalu dari panggung megah Aula besar. Fatimah Finnigan mengisi kekosongan panggung tersebut, ia mengucapkan beberapa patah kata.
"Selamat datang, remaja Sydney! Tak sabar untuk meledakkan aula besar, bukan? Aku yakin kaki kalian semua pasti gatal tak tahan untuk berdansa dengan pasangan kalian? Hahaha, sudahlah. Abaikan! Sekali lagi, aku mewakili duta remaja dan penyelenggara Summer Party mengucapkan banyak terimakasih karena kalian telah menghadiri acara tahunan ini. Bagi yang ingin unjuk bakat menyanyi ataupun bermain musik, silahkan maju ke panggung dan ingat, jangan sungkan sungkan! Ramaikan Summer Party tahun ini! Silahkan nikmati jamuan, dan selamat meledakkan tengah Aula besar!" jelas Fatimah.

Pesta dansa dimulai. Musik akan terus melantunkan melodinya. Dan aku masih saja berdiri di balkon panjang dekat pualam tangga. Kurasa gelar penonton sejati tepat diberikan padaku.
Ku lihat Edmund dan Lorraine berjalan memasuki bagian tengah Aula besar. Hanya mereka berdua. Helen dan Fifi naik ke atas panggung. Sepertinya mereka berdua akan menyanyi. Oh, dugaanku salah. Hanya Helen yang menyanyi, karena kulihat Fifi membawa seruling. Ia meletakkan jemarinya dengan rapi di atas lubang lubang seruling dan meniupnya, dan Helen tersenyum bersiap untuk menyanyi. Seruling yang dimainkan Fifi sangat merdu, mengundang semua orang masuk ke tengah tengah Aula besar. Menyusul Edmund dan Lorraine yang tengah siap berdansa.

Every night in my dreams
I see you, I feel you
That is how I know you go on
Far across the distance
And spaces between us
You have come to show you go on

Intro lembut lagu legendaris My Heart Will Go On - Celine Dion sukses dibawakan oleh kakak beradik Claire ini. Dan Aula besar kini penuh dengan remaja remaja yang berdansa lembut mengikuti musik. Benar benar memukau, tak kalah dengan Revita. Ku nikmati permainan seruling Fifi dan suara Helen sembari berjalan menuruni tangga menuju puding yang sedari tadi menarik perhatianku.

***

"Lagu ini kupersembahkan untuk kekasihku tercinta, Nanda McCartney dan adiknya  Alison"
Aku berdiri disamping meja penuh pai dan puding sembari melihat Aulia menyanyi di panggung setelah paksaan-kejam-tur-menyebalkan-dari-aku-dan-Nanda.
Nanda duduk dan sibuk mengunyah kue tar karamelnya dan meninggalkanku yang masih berdiri, aku menghampiri Nanda-yang-sibuk dan bertepuk tangan keras untuk menyemangati Aulia. Ia menyanyikan lagu Lovestory - Taylor Swift, salah satu lagu yang sering kuputar di MP3 Playerku. Ingatanku melayang ke setahun yang lalu, saat aku menyanyikan lagu Lovestory untuk pelajaran Seni Musik. Aku bersyukur mendapatkan nilai B, bukan C. Inilah kerugian tak bisa menyanyi. Aku terkagum kagum dengan Lovestory versi Aulia. Jika ia teman sekelasku dan menyanyi Lovestory untuk Seni Musik, pastilah ia meraih nilai A. Sayangnya, Aulia bukan teman sekelasku tapi pacar kakakku.

Oh oh, cause you were Romeo I was a scarlet letter and
My daddy said stay away from Juliet but you were everything to me
I was begging you please don't go, and I said

Romeo take me somewhere we can be alone
I'll be waiting all there's left to do is run
You'll be the prince and I'll be the princess
It's a lovestory baby just say yes
Romeo save me they're trying to tell me how to feel
This love is difficult but it's a real
Don't be afraid we'll make it out of this mess
It's a lovestory baby just say yes

***

"Namaku Ayuana, dan ini temanku Almira, kami dari Houston High School. Bagaimana denganmu?" tanya gadis bergaun putih penuh dengan jahitan bunga melati.
"Umm.. Ehm, aku Alison, dari Princeton High School, senang bertemu denganmu" jawabku sambil memainkan jemariku, karena canggung.
"Mmm, siapa dia Alison? Lelaki dibelakangmu?" Almira, si gadis bergaun hijau menunjuk ke arah Nanda yang masih sibuk menyicipi aneka jamuan di Summer Party.
"Umm, dia Nanda, kakakku. Dan perempuan disampingnya bernama Aulia, ia pacar Nanda" jawabku, lagi.
"Oh, kau tampil sangat cantik malam ini, Alison. Mengapa kau tak ikut berdansa?" tanya Ayuana.
"Emm, aku tak mempunyai pasangan. Lagipula, siapa yang mau dansa denganku?"
"Astaga, jangan merendah seperti itu, benar kata Ayuana, kau cantik sekali malam ini." kata Almira
"Terimakasih, kurasa kalian terlalu berlebihan. Hey, mengapa kalian tidak mencoba menyanyi?"
"Hahaha, menyanyi? Huh, aku hanya merusak suasana saja. Semua orang akan berhenti berdansa dan melemparkan apa saja ke arah kami, bukan begitu Ayuana?" kata Almira
"Hahaha, kau benar. Suara kami kan tidak seberapa, Alison. Kau saja-lah yang menyanyi" Ayuana ikut menimpali.
"Kalian ini, sudahlah. Ayo, kita nikmati es krim blueberry itu. Aku tak kuasa tidak menyicipinya" ajakku.
"Dengan senang hati, Alison" kata mereka berdua, berbarengan.

Aku, Ayuana, Almira mengambil gelas kecil yang tersedia dan mengambil sedikit es krim. Tentu saja aku tak mau mengambil terlalu banyak, perutku bisa kelabakan nantinya. Nanda dan Aulia menikmati pai apel mereka, dan bercanda. Tentu saja, aku tak mau mengganggu waktu istimewa mereka.
Musik terus bermain tanpa lelah, Ghiska, teman sekelasku yang sering mewakili sekolah mengikuti lomba menyanyi tak mau kalah menunjukkan bakatnya. Tak sungkan sungkan ia naik ke atas panggung dan meminta Nadia, si pengatur musik, untuk mengganti lagu yang akan ia nyanyikan.

You’re so beautiful
But that’s not why I love you
I’m not sure you know
That the reason I love you is you
Being you Just you
Yeah the reason I love you is all that we’ve been through
And that’s why I love you
La la La la la la, La la La la la la

Lagi lagi aku mengenal lagu yang Nadia putar, I Love You - Avril Lavigne.
Adakah lagu lain yang tak aku kenal?
Lamunanku buyar ketika dengan tiba tiba Nanda berlari dan menyeret tanganku, dengan sigap ia memberikan topeng berwarna keperakan padaku.
"Pakailah Alison! Cepat! Seven Angels datang dan sepertinya ia akan memakimu lagi" kata Nanda, ia ketakutan. Lebih lebih aku, ku kenakan langsung topeng pemberian Nanda.
"Topeng siapa ini Nanda?" tanyaku khawatir.
"Emm, huh, entahlah aku menemukannya di meja sana saat aku duduk bersama Aulia"
"Nanda, aku kan tidak bersama Alan, jadi mereka tak akan mengusikku seperti dua minggu yang lalu. Apa aku boleh melepas topeng ini sekarang? Aku tak mau menjadi pusat perhatian." Benar kataku, beberapa orang memperhatikan diriku menggunakan topeng. Termasuk Ayuana dan Almira, yang kaget karena Nanda tiba tiba menyeruak kami bertiga.
"Jangan! Ku mohon, apapun yang terjadi tetaplah gunakan topeng ini"
"Terserah saja"

Aku pasrah sebagian mukaku ditutupi topeng keperakan milik entah siapa. Nanda benar, meskipun aku tidak bersama Alan, Seven Angels tetap saja menghampiriku dengan angkuh. Sebenarnya tidak menghampiriku, tetapi berdiri 1 meter didepan Nanda, aku dibelakangnya.
"Benar kan, Dikca? Tidak ada Alison, kau mengelabuiku saja!" erang Putu.
"Ta-tapi aku melihatnya. Sungguh, Putu! Tanyakan saja pada Monica, ia juga melihatnya" Dikca mengelak, wajahnya dirias lebih banyak make up dari hari hari biasanya.
"Apa?! Kau menuduhku begitu saja, bukan aku! Tapi Wardah!" raut wajah Monica kalang kabut.
"Bukan aku! Rhia yang melihatnya!" Wardah-pun tak mau mengaku.
"Kau kurang ajar Wardah, Stefani-lah yang melihatnya!"jerit Rhia sambil menenteng tas kecilnya. Mereka menjadi pusat perhatian. Ghiska berhenti menyanyi. Semua sibuk memperhatikan Seven Angels. Mungkin mengagumi kecantikan mereka, mungkin juga hanya sekedar hiburan tontonan gratis. Panggung kosong.
"SUDAH CUKUP! Kalian berisik! Diamlah, aku ingin mencari laki laki tampan disini! Jangan lihat lihat!" jerit Putu, ia marah, padahal ia baru tiba di Gedung Sydney Opera.
Summer Party berjalan seperti biasa setelah di goreskan adegan kecil-tur-menarik-perhatian dari Seven Angels. Aku dan Nanda tertawa cekikikan, begitu pula Ayuana dan Almira. Ku nikmati kembali es krim blueberry-ku.
Aku tak pernah menduga, aku mempunyai kisah tersendiri tentang Summer Party. Rasa yang telah lama terkubur itupun perlahan datang lagi.
Nadia menyalakan musiknya kembali, Aulia menghampiri Nanda dan aku yang masih memakai topeng. Semua orang sibuk dengan kegiatan mereka masing masing, ada yang menikmati jamuan sekedar untuk menghapus lelah karena terlalu lelah berdansa. Adelina dan pasangannya, Hadi, sibuk menikmati Orange Juice mereka dan tertawa kecil.

Ku alihkan pandanganku ke arah panggung, ada lelaki berjas serba putih mengisi panggung yang kosong tersebut. Aku hanya melihat punggungnya, ia membalikkan badannya. ASTAGA! Ia mengenakan topeng keperakan yang sama dengan milikku. Sejenak aku ingin memberitahukan ini kepada Nanda, tapi ia sibuk bercanda bersama Aulia. Rambutnya pirang, ia membawa setangkai mawar putih yang ia selipkan di saku jas-nya, dari jarak agak kejauhan sepertinya aku pernah mengenalnya, tapi siapa? Otakku terlalu lemah untuk berfikir, kurasakan jantungku berdetak lebih cepat. Tubuhku panas-dingin, dan semua makanan yang kulihat terasa tak mempunyai selera. Es krim blueberry-ku pun ku letakkan di meja, aku enggan menyentuhnya. Yang ingin kulihat hanyalah lelaki misterius bertopeng keperakan.
Lelaki itu belum mengeluarkan suaranya untuk menyanyi, musik masih mengalun lembut. Ku tatap wajahnya kejauhan, mencoba mengingat namanya. Tapi nihil! Otakku sama sekali tidak mau bersahabat denganku, hatiku semakin berdebar seperti deburan laut yang menghempas batu karang.
Mulutku semakin kelu ketika tanpa sengaja ia menatapku. Ia tersenyum, manis sekali, melebihi manisnya se-kuintal gula yang ditumpahkan dalam adonan kue. God, aku mengenal senyum manis itu! Sungguh aku mengenalnya! Tapi masih saja aku tak mengenalnya. Ku lepaskan topeng ini dan memperhatikannya lebih jelas, siapa tahu aku tahu siapa dia. Hasilnya sama nihil, yang ada hanyalah perasaanku yang ingin bersamanya. Ia menarik nafasnya perlahan, dan mulai menyanyi.

We were as one babe, For a moment in time
And it seemed everlasting, That you would always be mine
Now you want to be free, So I'm letting you fly
Cause I know in my heart babe, Our love will never die
No!
You'll always be a part of me, I'm a part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling cause you'll always be my baby
And we'll linger on, Time can't erase a feeling this strong
No way you're never gonna shake me
Ooh darling cause you'll always be my baby

Kini aku sama sekali tak familiar dengan lagu ini, tapi aku familiar dengan suaranya, tapi ugh! Sama sekali aku tidak bisa mengingat siapa dia.
Ia membawakannya dengan sangat amat sempurna! Lebih sempurna dari semua penampilan yang pernah ada. Dan ketika ia selesai, aku sama sekali tidak bisa menggerakkan tanganku untuk tepuk tangan, hanya senyuman yang kuberikan untuknya. Pangeran bertopeng itu turun dari panggung, ia menghilang bagaikan di telan bumi, lebih tepatnya kota Sydney. Aku tidak mengejarnya, diam membisu membiarkan hatiku berdebar lebih kencang. Setelah beberapa detik ia menghilang, organ tubuhku kembali berjalan normal, tanganku bisa digerakkan, kecuali otakku yang dipenuhi tanda tanya siapa dia, dan jantungku yang bahagia bermain trampolin.
Ku tanyakan perihal ini pada seseorang di sampingku, aku baru sadar kalau aku terus melangkah ketika rasa penasaran ini merajalela. Hingga akhirnya, bukan Nanda yang di sampingku, tapi Anggra Peverell, teman sekolahku.
"Kau kenal siapa dia, Anggra?" tanyaku penasaran.
"Entahlah, ia memakai topeng. Mana mungkin aku mengenal wajahnya?" kata Anggra.
"Oh, sial. Kalau begitu terimakasih Anggra"

Ku tinggalkan Anggra dan berjalan tanpa arah, ku langkahkan kakiku kemana saja ia mau, tanganku memegang erat topeng misterius ini, sedetikpun tak mau kulepaskan, rasanya seperti sedang membawa harta karun dari pulau asing. Mulutku pun tak karuan, membentuk lengkungan kecil alias tersenyum, semua orang boleh mengataiku gila, tapi dalam materi, mungkin aku sedang jatuh cinta.
Aku masih melangkah membawa sejuta rasa, otakku masih tak bisa menjawab pertanyaan sial ini : Siapa dia?
Kaki terus melangkah sesukanya, ia membawaku ke pualam tangga, ke balkon panjang. Dan akhirnya ia berhenti, ku hadapkan tubuhku ke kerumunan orang orang yang memadati Aula besar yang benar benar luas. Adelina dan Hadi masih menikmati orange juice mereka, Edmund dan Lorraine masih berdansa tanpa kenal lelah, Helen dan Fifi menyantap puding mereka, Ayuana dan Almira melambaikan tangan mereka ke arahku begitu aku melihat mereka, ku balas senyuman. Seven Angels sibuk dengan kegiatan mereka, Nadia masih sibuk mengatur musik yang menggelegar ini. Kali ini Ery dan Syifa tampil mengisi kekosongan panggung tersebut. Ery menyanyi, dan Syifa bermain biola. Aku tak peduli lagi apakah aku kenal lagu yang Ery nyanyikan, aku hanya menikmati lantunan biola Syifa. Nanda dan Aulia berdiri dibawah mistletoe rindang, berdansa sendiri sesuka mereka, sampai larut malam.

Disaat yang tak pernah kuduga, ia datang dan menghampiriku dari belakang. Ia memegang tanganku yang kumainkan di tepi balkon. Aku terkejut dan kupalingkan wajahku menghadap wajahnya. ASTAGA! Pangeran bertopeng!
Dengan gerak reflek ku lepaskan tanganku dari genggaman tangannya, topengku masih kupegang erat. Jantungku jumpalitan lebih keras, nafasku tak beraturan, pipiku merona, rasanya aku seperti terbang ketika ia menyebut namaku.
"Alison"
God, ia kenal aku! Ia kenal! Tapi, siapa dia?
Ingin rasanya ia ku hujani ratusan pertanyaan serupa, siapa kamu? Tapi yang keluar dari mulutku hanyalah "Umm, ehm"
Hanya itu. Inilah speechless. Ia tertawa kecil, mungkin karena melihat ke-kikuk-kanku. Dan ia membungkukkan badannya, mengadahkan tangannya ke arahku. Seakan meminta sesuatu yang harus kuberikan sekarang.
"Boleh ku minta waktumu, Alison?"
Pertanyaan itu membuat aku tak karuan, rasanya ingin menjerit dan melompat lompat seperti kanguru. Tapi tak mungkin dan tak bisa. Aku menjawab pertanyaannya itu, mulutku ingin mengatakan 'ya', tapi yang keluar hanyalah 'hmm'.
Dan akhirnya ia memahami bahasa pura pura bisuku ini, ku terima tangannya yang mengadah ke langit. Telapak tanganku yang dingin digenggam dengan telapaknya yang hangat. Dan ia membimbingku berjalan.
"Kau kedinginan, Alison? Tangamu dingin" katanya. God, aku kenal akrab dengan suara ini, tapi siapa dia?
"Ti-tidak juga" akhirnya aku bisa berbicara! Walaupun hanya sepatah kata'tidak juga', kata yang tidak penting dalam kamus Alison.

Dan aku terus melangkah mengikutinya, ke suatu tempat yang tak pernah terlintas dalam khayalanku sedetikpun.

0 komentar:

Posting Komentar