Minggu, 16 Oktober 2011

Today Was a Fairy Tale - cerpen


“Vania! Tambah powernya! Suaramu tak terdengar!”
“Bulat, Vania! Jangan malu malu buat buka mulut!”
“Astaga Vania, kau lupa lagi koreografi yang baru Kakak ajar kemarin?”

Bulat, power, koreografi menggerayangi pikiranku malam ini. Ceramah panjang nan lebar tadi sore masih terngiang jelas di indra pendengarku ini. Ya, lusa sekolahku akan mengikuti lomba Paduan Suara tingkat Kota, dan aku masih saja bergelayut dengan berbagai kesalahan. Sungguh, aku pasrah! Tak kuasa menahan rasa kecewa dan malu, didepan Kakak kakak pembina, anak anak padus apalagi didepan Fandi, orang yang kusuka akhir akhir ini, tak tau lagi dimana harus kuletakkan muka ‘upik-abu’ ini.
Ku jatuhkan diriku di hamparan rumput hijau nan luas dekat rumahku. Langit tampak kelam, tak terlihat setitikpun bintang, mungkin tak lama lagi hujan akan turun. Biarlah. Aku ingin meluapkan segala curahanku ditemani semilir angin malam.
1 menit..
5 menit…
Aku masih terpaku dengan pandangan mengarah kelamnya malam bak permadani hitam. Memutar memori flashback berbagai kejadian yang ku alami hari ini.

Andre menghilangkan penghapus kesayanganku. Nadya hampir menjatuhkan Ipod Apple-ku. Sartika mendapat nilai perfecto di test matematikanya, berbeda sekali denganku yang mendapatkan nilai kursi terbalik. Fandi yang cuek sama sekali tak menyapaku apalagi mengajakku ngobrol, padahal itu yang sering kutunggu setiap hari, dan berbagai macam kejadian sampai yang paling menyebalkan “Vania, si upik abu yang terpilih mengikuti lomba Paduan Suara tetapi tak pernah sekalipun berhasil menyanyi”.
Hari ini menyebalkan, memang! Tetapi tidak lagi setelah seseorang berteriak hingga membuyarkan lamunanku.
“Vania!”
Refleks aku bangun dan berdiri mencari sosok si pemilik suara tersebut.
Kuputar tubuhku dan sosok mengenakan kaos putih, berlapiskan jaket coklat, celana jeans hitam dan kacamata minus khasnya berlari tergesa gesa menghampiriku.
Astaga! Hatiku berdebar seraya deburan laut yang menghempas karang. Jantungku jumpalitan, berdetak lebih cepat dari biasanya. Mataku mengerjap membelalak tak menyangka. Mulutku kelu kala ia berhenti tepat dihadapanku dan menatapku! Dan ia tersenyum, maniiiiiis sekali, melebihi se-ton gula yang di tumpahkan di adonan kue.
“Vania, astagaaa.. apa yang kamu lakukan disini? Kau sendirian!”
“Fa-fa-fandi… apa yang kau lakukan disini?”
“Kau malah balik bertanya, aku kesini mencarimu, entahlah tiba tiba aku khawatir denganmu” kata Fandi yang membuat pipiku tak lebih dari kepiting rebus.
“Ta-tapi bagaimana kau tau aku ada disini?”
“Vania, aku tau kau kecewa karena penilaian kakak pembina tadi, dan aku tau kau pasti akan meluapkan semuanya disini”
Ku mainkan ujung syalku. Speechless!
Seorang FANDI? Yang cuek? Tak pernah sedetikpun mengajakku berbicara kalau itu bukan topik yang penting? Tiba tiba datang dihadapanku dan seolah olah mengetahui semua isi hatiku layaknya peramal? Dan yang paling mengejutkan, ia khawatir dengan AKU?!
Angin apa yang membawanya ia kemari.
“Masih berapa lama lagi kau akan terus disini?” tanya Fandi mencairkan suasana, dan mengajakku duduk
“Aku tak tau”
“Sebentar lagi hujan turun, lebih baik kau pulang daripada kau kehujanan dan jatuh sakit, mau kuantar?”
“Tidak, aku masih ingin disini”
“Ceritakanlah padaku, semua yang kau rasa, siapa tau aku bisa membantu”
“Aku kecewa, Fandi! Aku tidak bisa memberikan yang terbaik, meski aku telah berusaha. Aku tidak bisa sebagus teman teman, bahkan aku tidak lihai dalam koreografinya. Tetapi mengapa kakak pembina memilihku? Se-sepertinya aku memang harus mundur, dan digantikan oleh Lea yang bertalenta lebih baik!”
“Vania, aku tau itu. Dan kau bukannya tidak bisa, yang kuperhatikan selama ini, kau kurang percaya diri untuk menunjukkan talentamu dengan maksimal, kau pasti bisa sebagus mereka, bahkan lebih! Teruslah berusaha, tak ada yang tak mungkin bagi orang yang mau berusaha! Kau ditunjuk kakak pembina, sama sepertiku, itu berarti kita dipercaya untuk memegang amanah besar, kita dinilai mampu untuk tampil di lomba padus. Kau hanya butuh semangat dan usaha! Ayooo semangat Vaniaa!”
“Thanks a lot Fandi. You make me stronger”
“Never mind, that’s what friends are for”
“Kamu Fandi kan? Nggak biasanya ngajak bicara gini, apalagi mau dengerin cuapcuap aku, hehee tumben”
“Iyalah, aku Fandi. Aku kasihan aja sama kamu, aku tau kok kamu udah berusaha. Masih susah di bagian koreografinya ya?”
“Iya, fan”
“Aku ajarin deh sekarang, tapi rintik hujan udah mulai kerasa, bener nggak?”
“Gak peduli hujan, semangatku lagi berkobar! Ayo ajari aku Fandi!”
“Bravooo, baiklah ikuti gerakanku!”

Dan aku menari mengikutinya seiring irama hujan yang semakin lebat, langit yang semakin kelam, dan daun daun yang berterbangan menerpaku dan Fandi karena hembusan kencang angin yang tak henti.
Tetapi, bersamanya, semua hal menjadi indah. Bunga bunga bertaburan dan kupu kupu saling mengejar cinta. Gelak tawa dan senyum manisnya terekam jelas di memoriku.
Ia membantuku menggapai secercah impian di kala aku tak bisa mewujudkannya sendirian. Ialah bintang yang mengisi hatiku dan berkilau ditengah redupnya perasaanku.
Menari dibawah hujan, tertawa bersama, menyanyikan lagu adalah hal yang tak pernah bisa ku lupakan dan selalu kuputar setiap waktu tidur tiba.
Meski aku ingin selalu bersamanya setiap waktu. Tapi aku berterimakasih dengan adanya hari ini, dan aku takkan lagi mengeluh tentang nasib buruk dihidupku!
Terimakasih Fandi, telah mewujudkan serpihan keinginanku. Hari ini seperti dongeng.

***

0 komentar:

Posting Komentar