Note; cerpan ini dibuat pas kelas 10, pas jaman alay alaynya. Overall, ceritanya panjang banget dan boring. Ga ada gregetnya di alurnya, ya whatever jaman kelas 10 masih labil labilnya haha. Beberapa plot disini gabungan dari pengalaman nyata, makanya absurd.
“Kepingan
Alan”
Senin,
30 Januari 2012 “Namanya Asya. Dia cantik, rambutnya panjang, keturunan
setengah Jawa dan setengah Cina dan tentunya dia muslim. Aku mencintainya,
sungguh. Tiga tahun yang lalu, aku mengungkapkan semua yang ku rasakan. Betapa
aku menyayanginya. Dan dengan senyum yang teramat manis, ia menjawab ‘ya’.
Singkat, tapi cukup untuk meledakkan hatiku. Sejak itu, kami berpacaran,
lamanya dua tahun. Saat kami melanjutkan sekolah ke jenjang SMA, kami berpisah,
ia berusaha menggapai cita citanya dengan bersekolah di SMK Farmasi, Semarang.
Dan karena itu, kami harus mengakhiri kisah yang telah kami ukir bersama,
pacaran jarak jauh pantang bagi kami. Tetapi meskipun begitu, aku tetap
mencintainya.”
Suitan terdengar membahana di kedua indra
pendengarku, muka sumringah di tatapanku terlukis jelas. Semuanya kini
menyorakiku. Kulangkahkan kakiku menuju bangku di temani sorakan tiada henti.
Bahkan guruku Bahasa Indonesiaku, Bu Dwi, hanya nyengir kuda saat aku sibuk
menghayati setiap ucapanku tadi. Ya, hari ini, Bu Dwi memberi tugas dadakan
untuk menceritakan masa lalu, didepan kelas. Andre, teman sebangkuku,
menceritakan bagaimana ia mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan seluruh
koleksi komik Jepangnya dari ibunya sendiri, dan pada akhirnya ibunya menyita
seluruh komik yang jumlahnya tiga kardus! Vanesa, betapa ia menyayangi ibunya.
Kami semua terlarut dalam kesedihan yang ia rasakan empat tahun lalu, saat ibunya
mengalami kecelakan yang hampir menyebabkan kakinya patah.
Helen, ia
menceritakan masa lalu yang katanya tak pernah bisa ia lupakan. Dan itu terjadi
di dunia maya. Berasal dari grup “Harry Potter Freaks Indonesia” di jejaring
sosial, Facebook. Ia menemukan banyak teman baru yang menggoreskan tinta
warna-warni dalam kehidupannya yang datar. Ia juga menemukan cinta, katanya.
Namanya Hendy. Ia dan teman teman dunia maya-nya memanggilnya Mumun, hanya
karena nickname Facebooknya “Edmund Lestrange”, dan nama Edmund terlalu ‘keren’
untuk seorang Hendy. Unik, menurutku. Tidak banyak orang yang mendapatkan apa
yang Helen temukan di dunia maya.
Oh ya,
ngomong ngomong tentang Helen. Mana ya suaranya? Dari 32 penghuni kelas X-13
ditambah guru yang duduk santai di belakang. Tak terdengar sedikitpun
teriakannya, padahal biasanya ia-lah yang selalu bersorak paling keras dengan
aksen-logat-ngapak-ala-wong-Tegal, tanpa tahu malu. Ku palingkan mukaku menuju
deret bangku paling kiri, nomor tiga, tempat ia biasa duduk. Mukanya di
tenggelamkan di kedua telapak tangannya. Rambutnya yang ikal terurai tak
beraturan menutupi tingkah anehnya itu. Dan sepertinya tidak banyak yang sadar
apa yang telah terjadi padanya.
Helen
terisak, larut dalam tangisan emosi yang meluap.
Sabtu,
4 Februari 2012
Sabtu
yang cerah.. Begitu cerah, hingga Pak Didi menyuruh kami berganti pakaian
olahraga dan mengajari kami bermain basket di lapangan. Bukan! Bukan mengajari,
menonton lebih tepatnya. Karena ia hanya mengajari anak perempuan saja dan kami
para laki-laki dibiarkan bermain bola sendiri sesukanya. Alih alih dengan
perintah konyol dari si ketua kelas, Brian, permainan bola basket kami sulap
menjadi sepak bola. Dan bola malang itu dengan senangnya memantul kesana
kemari, membuat kami kesakitan gara gara menendangnya terlalu keras.
“Kalian!
Anak laki-laki, kemari!” seru Pak Didi.
“Wuuuuuuuu”
sorak anak-anak perempuan, terutama Jihan.
“Ini
bola apa?” tanya Pak Didi, konyol sekali pertanyaan ini. Spontan kami tertawa
dan menjawabnya dengan cekikikan
“Semua
orang juga tau kali Pak, itu bola basket” kata Brian.
“Lalu
yang kalian mainkan tadi? Namanya apa?” tanya Pak Didi, yang lagi lagi konyol,
tawaku tak bisa tertahan lagi.
“Hahahaha!
Sepak bola dong, Pak! Masa Pak guru nggak tahu sih?” jawab Fandi, diikuti
tawanya yang semakin ricuh.
“Diam!
Kalian tau ini bola basket! Kalian juga tau yang kalian mainkan tadi sepak
bola. Ah, seharusnya kalian bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya dengan
tepat! Bola basket ya dipantulkan, dilempar ke ring, bukannya malah ditendang.
Kalian ini kelas X di SMA unggulan, masa kalah sama anak SD? Memalukan!”
ceramahnya membungkam ledakan tawa kami.
“Ma-maafkan
ka-kami, pak!” ucap Brian, yang tampaknya menyesal.
“Sudah
sana main!”
Kami
pun duduk melingkar di belakang anak perempuan. Menonton mereka yang berusaha
memasukkan bola ke dalam ring. Kali ini giliran Tarra, sampai lemparan
kesepuluh, tak ada satupun bola yang masuk. Melihat hal ini, aku cekikikan
hingga dipelototi Tarra yang beranjak duduk di samping Helen.
“Alan!
Giliranmu, maju!” Pak Didi menunjuk ke arahku.
“A-aku,
pak?”
“Iya!”
Ku ambil bola yang tergeletak manis dan melemparkannya sembrono ke arah ring.
Dan…masuk!
“Satu!”
teriak Pak Didi.
“Satu
apanya, pak?” tanyaku, polos.
“Ya
satu skormu, gundul!” sial, aku terlihat bodoh saat ini, dan itu membuat Fandi
semakin tertawa cekikikan.
“Tiga!”
“Lima!”
Hore!
Meskipun gagal 2 kali, aku berhasil mencetak angka 5. Berarti, 3 kali lemparan
lagi dan jika aku berhasil, angka 8 akan tertulis manis di daftar nilai yang
dipegang erat oleh Pak Didi. Ini membuatku semangat.
“Helen!
Awas!” Bruk! Helen terjatuh dengan bola yang didekap erat. Sial, lemparan ke 8
tampaknya tidak berada di pihakku.
“Aw..”
“Helen,
lo nggak kenapa napa kan?” tanyaku, sembari membantunya berdiri.
“Ya..”
“Maaf,
aku tidak…"
“Sudahlah”
Ia melemparkan bolanya ke arahku meski jarak kami tidak ada satu meter, dan ia
bergegas kembali duduk.
“Cieeee…
Alaaan!!” teriak Fandi, keras sekali.
“Wah,
cinta lokasi!” Jihan tak mau kalah.
“Bayangin
ring itu mukanya Helen, lan! Pasti bola lo masuk terus deh! Haha!” celoteh Eka,
cewek yang demen banget debat, anak kesayangan Bu Dwi.
“Ribut
apa sih kalian?” tanyaku geram, sekaligus geli. Bagaimana tidak? Belakangan
ini, seisi kelasku selalu memojokkanku dengan Helen, entah gosip darimana itu.
“Cie
Alan mukanya merah tuh!” siaaaal, Kevin rupanya tak mau ketinggalan. Lupakan,
lan. Abaikan! Ayo, 2 kali lemparan lagi! “Wah masuk tuh! Ayo, lan bayangin
mukanya Helen sekali lagi!” Kini semua anak mulai melempariku dengan berbagai
ledekan-super-aneh. Dan Helen sedari tadi hanya tersenyum masam. Entahlah.
“Yeah!
Tujuh, pak! Skorku tujuh kan?” kataku semangat.
“Ya..
Dan kau yang tertinggi, selamat ya!”
“Hore!
Asik nih! Len, kasih selamat tuh!” Fandi masih saja semangat menggodaku.
Bel
istirahat berbunyi nyaring menandakan pelajaran berakhir. Dengan insiden dan
suitan konyol, aku berjalan gontai dengan keringat di sekujur tubuh menuju
kelas X-13 yang letaknya di lantai dua. Uh, rasanya seperti berjalan di gurun.
Panas, lelah, jauh dan tak berujung.
Sabtu,
25 Februari 2012
Sudah
tiga minggu insiden itu terjadi. Dan sudah tiga minggu ini pula, berbagai macam
ledekan tentangku dan Helen merajalela. Cerita itu datang tiba-tiba. Saat itu,
teman akrabku, Fandi menghampiriku dengan sejuta kehebohan dan mengatakan bahwa
Helen menyukaiku. Semula aku tak percaya, tetapi suka itu hal yang wajar kan?
Untuk itu, aku bersikap biasa dan berusaha menghargai. Tetapi, ulah teman teman
yang selalu memojokkanku membuatku enggan bertemu dengannya. Jam dinding polos
tak bercorak masih berdentang. Jarumnya yang tak pernah lelah berhenti bekerja
menunjukkan pukul 11.50 WIB. Ya, siang ini cukup panas, bahkan lebih dari
panas. Matahari bersinar terik tepat diatas ubun-ubun.
Bel
istirahat telah berakhir 5 menit yang lalu, dan ruang kelasku masih bising
tiada guru mengajar. Entahlah, mungkin Pak Hadi, guru ekonomi masih duduk
terlena menikmati sejuknya AC, dan mengabaikan suara bel yang bernyanyi
nyaring. Hana, wakil ketua kelas, memecah kebisingan kelas. Membungkam seluruh
kegiatan kami.
“Teman-teman,
aku mau jelasin yah buat Wide Game besok, jadi besok kita harus sampai di SD
pukul 06.00, wajib memakai seragam pramuka lengkap. Untuk pemandu regu, ada 11
anak nanti kita rapat setelah ini. Untuk PKS, ada 6 orang. Kalian menjaga di
setiap persimpangan jalan, pokoknya jangan sampai ada kabar kecelakaan. Oya,
pos-nya ada 6. Semaphore, PBB, P3K, Tali Temali, Sandi dan Pengetahuan Umum.
Untuk penjaga pos ada 2 orang di setiap pos nanti akan dibagi setelah ini.
Sejauh ini, paham?” “Pahaaaaammm!” jawab anak-anak serempak.
“Alan!
Alan! Kemari!” Felly memanggilku, dan kuhampirinya dengan ogah-ogahan. Ia
tengah duduk melingkar dengan Safira, Eka, Tarra, Levina, Lea, Kevin, Ghani,
Fandi, Theo dan.. ada Helen disana.
“Ada
apa?”
“Jadi,
kita akan membagi penjaga pos”
“Untuk
pos semaphore, Safira dan Kevin. Untuk pos PBB, Eka dan Levi. Untuk pos P3K,
Tarra dan Lea. Untuk pos tali temali, aku dan Ghani. Untuk pos sandi, Alan dan
Helen. Dan untuk pos PU, ada Fandi dan Theo.”
“Baiklah”
ada sedikit rasa senang, gugup, dan kecewa menggelitik sudut hatiku. Aku dengan
Helen!
“Cie
yang sama Alan. Ciee!” celetuk Fandi, ah anak ini mulai lagi.
“Apa
sih? Biasa aja kok, kan tugas” kata Helen, renyah sekali.
“Kalian
paham, kan?” “Paham!”
Pramuka,
salah satu ekskul yang ku suka. Disaat semua anak membencinya, justru aku
menyukainya. Berbagai macam kegiatan dari wisma, rally sepeda, dan hingga kini
penerjunan selalu ku ikuti. Di saat semua kelas rata-rata mendapat tugas
penerjunan di SMP, kelasku mendapat yang berbeda, kami mengajar di 3 SD yang
terletak dalam 1 komplek, yaitu SDN Mangkukusuman 2, SDN Mangkukusuman 4, dan
SDN Mangkukusuman 7. Aku mengajar sandi bersama Esti dan Helen. Esti di SDN
Mangkukusuman 7 dan Helen di SDN Mangkukusuman 2. Dan besok, adalah saat saat
terakhir, yang akan berkesan dan pastinya seru! Yap! Wide Game, momen yang
paling di tunggu tunggu di penerjunan. Dimana, bocah bocah SD ini nanti akan
berpetualang, mengikuti rute yang kami buat, singgah di setiap pos, menjawab
soal soal yang kami buat. Dan regu yang mendapat skor tertinggi, mereka-lah
yang menang. Seru sekali rasanya! Saat aku SMP, aku pernah mengalami hal
serupa. Lelah tetapi menyenangkan. Kini, aku berada di posisi yang berbeda, aku
penjaga pos! Ah, membayangkan hal ini rasanya jadi tak sabar menunggu esok
hari. Detik detik berlalu terasa sangat lama.
Minggu,
26 Februari 2012.
Mendung menyapa kota Tegal pagi ini. Terlihat
suram, tetapi tidak bagiku. Ku kayuh sepeda kesayanganku ini dengan sejuta
penantian. Hari ini kan momen yang ditunggu-tunggu, jadi tidak ada yang merusak
moodku untuk menjalani hari ini, apapun dan siapapun. Sebuah bangunan yang
ber-arsitektur persis sama kini tergambar di mataku, ber-cat kuning pucat
dengan halaman luas tidak tertata yang menyebabkan genangan air hujan tertuang
dimana mana. Tiga tiang bendera berdiri kokoh di setiap depan sekolah, dan ku
lihat banyak anak kelas 4 dan 5 yang sibuk berbincang, menerka nerka bagaimana
rasanya widegame nanti. Maklumlah, sepertinya ini widegame pertama mereka. Ku
parkirkan sepedaku di lorong dekat kelas 3 SDN MKK 2. Masih terlalu pagi
sehingga koridor di sampingku terlihat gelap. Dua anak kecil, perempuan dan
laki-laki berlarian menuju arahku.
“Kak!
Timmy iseng banget nih kak! Masa kunciranku dilepas, kan aku nggak bisa masang
lagiii” isak Stefani, si pipi chubby kelas 4 SDN MKK 2.
“Ye..Ye..
Stefani kalah! Kasian deh, dadaaaah” dan Timmy pergi begitu saja tanpa sempat
ku tegur.
“Sini
kakak pasangin” sebuah pita kecil warna pink ku terima dan dengan
keahlian-ala-kadarnya ku ikatkan pita itu ke rambutnya yang super halus.
“Udah,
dik”
“Makasih
kakak” senyum manis terulas di wajahnya yang cute dan ia pergi mengejar teman
temannya yang saling sibuk memamerkan bekal yang dibawa.
“Oke
dik, hati-hati ya!”
“Alan!”
seseorang memanggilku, Helen.
“Lucu
ya dia?” sapanya.
“Iya,
imut banget. Len, selamat pagi!”
“Pagi juga, oya kita ditunggu sama Felly di
bawah pohon sana. Yuk!”
“Ayo” Ku pandang Helen dari samping, tingginya
semampai sama sepertiku. Rambutnya yang ikal sebahu dibiarkan terurai. Indah
sekali, dari pertama aku bertemu dengannya, aku terpikat dengan rambutnya yang
begitu hitam kelam, paling hitam diantara yang lain. Tetapi dengan ucapanku
tadi, bukan berarti aku mencintainya, aku hanya suka rambutnya yang indah.
Melihat gelagatku, sepertinya Helen sadar bahwa aku tengah memperhatikannya.
“Kenapa
sih? Ada yang salah, lan?”
“Oh, nggak kok. Rambut lo kok nggak di kuncir
sih? Peraturannya kan rambut lebih dari sebahu itu harus di kuncir”
“Gue
nggak pernah suka rambut gue dikuncir, ingat? Dan asal lo tau lan, peraturan
dibuat untuk dilanggar” ia menyunggingkan senyum khasnya. “Dasar..”
Dibawah
pohon rindang dekat koridor SDN MKK 2, Felly, Levi, dan Theo tengah membagi
kertas polos, yang ku tebak itu adalah soal.
“Cie,
pagi pagi udah berduaan. Mesra banget sih!” celetuk Levi.
“Apaan
sih, lev? Kan lo sendiri yang nyuruh gue manggil” teriak Helen spontan.
“Iya
deh sorry. Buruan dong kesini” teriaknya sekali lagi, Levi memang jagonya
urusan jerat jerit. Entahlah, stok suaranya memang tak pernah habis.
“Sabar
dong. Baru juga nyampe udah dikasih teriakan, wu!” kataku, agak-nyolot.
“Nih!”
Felly menyodorkan 5 lembar kertas soal sandi. Tulisannya begitu rapi, tidak
sepertiku yang terlampau buruk persis ceker ayam.
“Gila
rapi banget tulisan lo, fel!” pujiku.
“Iya
dong, buruan gih baris. 15 menit lagi upacara dimulai”
Aku
melangkah menuju lapangan, dimana ratusan anak anak tengah berbaris menanti
petualangan dalam sejarah pramuka di garis kehidupan mereka.
“Alan!
Tungguin dong!” teriaknya yang kutinggalkan begitu saja.
“Okay”
Dan aku kembali berjalan, diiringi seulas
senyuman mentari yang muncul dibalik awan. Bersama Helen.
Perasaan
gundah berkecamuk dalam batinku saat ini. Upacara telah selesai 45 menit yang
lalu. Kini, aku tengah duduk di saung yang terlampau rindang dilindungi pohon
nan besar, dan tentunya diantara lebatnya ilalang. Lokasi ini begitu sempurna,
untuk kegiatan pramuka. Ada perumahan penduduk terpotret didepanku, di samping
kanan, jembatan kecil bertengger kokoh diatas sungai kecil yang kotor
berhiaskan banyak sampah, meskipun papan “Dilarang Buang Sampah Disini”
tertancap kuat di atas tanah yang tak terlalu subur. Ku pandang layar laptop
yang memainkan game ‘Angry Birds’. Helen, sedari tadi asyik bermain angkak
berwarna pink dan pelepah pisang yang nantinya untuk menandai angket setiap
regu. Konyol sekali dia. Sebenarnya dia baik, hanya karena teman teman
sekelasku kerap kali memojokkanku dengannya, ada rasa enggan bertemu dengannya.
Sungguh, perasaanku biasa saja. Aku menganggapnya teman, teman baik, tak lebih.
Sial, memikirkan tentangnya membuatku bimbang.
“Aw!
Alan! Lo bawa tissue gak?”
“Nggak,
kenapa sih?”
“Tangan
gue, argh casing hape gue juga kena! Duh..” ku lihat tangannya berlumuran
cairan kental dari angkak tadi.
“Yaelah,
len. Tangan lo jadi cantik tuh, biarin aja deh nanti juga kering. Lagian lo
iseng banget mainan angkak, kayak nggak ada mainan lagi aja”
“Lagian
gue mau ngobrol juga sama siapa? Lo serius banget mainan laptop” ucap Helen
kesal, tetapi kemudian ia sadar akan sesuatu yang seharusnya tidak diucapkan.
Aku menangkap maksudnya.
“Ups..
sorry, maksudnya..” katanya sekali lagi.
“Sorry
len, gue yang salah.”
“Nggak,
gue salah. Udah main lagi aja gih, sorry ganggu”
“Sudahlah..”
ku tutup laptopku dan mengalihkan perhatian ke dirinya.
“Kok
ditutup? Duh, udahlah lan. Gue juga nggak tau mau ngobrolin apa”
Dan aku
terdiam. Setetes air kekecewaan agaknya tertuang, tumpah di gelas perasaanku.
Kami terjebak dalam melodi keheningan, bisu. Sesekali burung di sangkar yang
tergantung di paviliun komplek perumahan berkicau menyanyikan alunan musik. Ku
ambil buku tebal tentang misteri dunia yang tak terungkap. Menarik, menurutku.
Ku pinjam dari Theo. Melihat Helen yang duduk terdiam, rasa iba menyergap
batinku. Mungkin di pos lain, Eka, Lea, Kevin, Tarra, terlebih Fandi pasti
sedang bergurau, bercanda atau apalah itu yang pasti bukan suasana sunyi
seperti ini.
“Len,
mau pinjem ini nggak? Menarik lho”
“Apasih?”
“Unbreakable
Mystery of the World..”
“Nggak
deh, makasih” GLEK! Penolakan yang simpel, renyah sekali. Hatiku mencelos,
tetapi dengan bakat akting-ala-kadarnya, aku bersikap biasa saja. Drrtt..
Hapeku bergetar..
“Udah
sampe pos 3 nih, cepetan lo sama Helen siap-siap, jangan pacaran terus, haha”
From :
Lea
Dasar
Lea, suasana hening tak lebih dari kuburan ia bilang pacaran.
“Len
bentar lagi pada nyampe nih, kita disuruh siap-siap”
“Udah
sejam lebih nih nunggu, gue ke sekolah ya, haus”
“Yah
jangan gitu dong, kata Lea bentar lagi kok” Lebih dari 20 menit kami menunggu,
belum ada satupun tanda regu yang akan datang melewati jembatan kecil itu.
Helen terbelenggu dalam penjara kebosanan yang teramat sangat. Karena ku lihat,
ia sedang membenamkan mukanya ke dalam telapak tangannya. Gerak geriknya sama
seperti saat aku menceritakan tentang Asya. Ups! “Helen”
“Ada
apa?”
“Gue
mau ngomongin sesuatu, seriusan”
“Oke”
ia menegakkan tubuhnya dan mengarah padaku.
“Mm..”
“Apasih?
Gue lagi ngantuk. Buruan dong”
“Sabar
dong, aku mau tanya. Kamuemangbeneransukasamaaku?”
“Ha?
Ulangin plis, gak jelas”
“Duh,
Helen. Gini nih kebanyakan dengerin musik”
“Jangan
mengalihkan pembicaraan, tadi lo ngomong apa?”
“Jadi…
Kamu beneran suka sama aku?” Ia terdiam sepersekian detik, dan tatapannya
berubah dingin menusuk kedua manik mataku. Sepercik rasa bersalah mengalir di
darahku, ugh, kenapa harus terpikirkan pertanyaan konyol ini?
“Len..
Len.. Maaf..” Bibirnya menyunggingkan senyum, kemudian berkata..
“Lo
sakit ya? Tumben tanya gituan, nggak pake gue-lo lagi! Kalo iya emang kenapa?”
Deg! Lagi-lagi, kalimat yang ia ucapkan begitu renyah. Tetapi aku suka, tak ada
rasa gugup yang membuncah terlihat di pancaran wajahnya. Sebaliknya, ia
terlihat senang. Mungkin inilah yang dia tunggu-tunggu sedari tadi.
“Sejak
kapan kau menyukai..” “Tepat! Sejak PTM, ingat? Mungkin sekitar Juli 2011,
sekarang tanggal berapa? 26 Februari? Tujuh lan, tujuh! Yap, tujuh bulan. Lo
tau, sebelumnya gue nggak pernah suka dengan cowok selama ini.” Deg! Ia
memotong pembicaraanku, dan berceloteh tentang sesuatu yang kuduga tak terduga
sebelumnya.
“Apa?”
“Ups,
sorry. Aku..”
“Aku
senang kamu jujur, tapi sebelumnya aku minta maaf. Helen, aku tidak..”
“Tepat!
Kau tidak mempunyai perasaan yang sama, kan? Tenanglah, lan. Aku sudah
menebaknya saat perasaan itu datang padaku. Selalu sama. Dan aku minta maaf,
saat itu aku tidak membendung air mata, aku tak cukup kuat, terlebih aku
cengeng. Tetapi dengan begitu, aku patut berterimakasih denganmu. Kau membuatku
lebih tegar, lan. Thanks ya”
“Hah?”
“Sudah
jelas kan, semuanya?”
“Len,
a-aku..”
“Tepat!
Mau tanya apa lagi?”
“Lo
ini, sedari tadi, tepat tepat tepat terus. Huh”
“Maaf
deh, oya, kenapa sih, lo nggak suka kalo gue suka lo ya? Anak cowok kan
biasanya gitu”
“Mmm,
len aku minta maaf ya, mungkin aku kurang menghargai perasaanmu”
“Wajar
kok” “Apa yang kamu katakan tadi benar, maaf aku tidak mempunyai perasaan yang
sama. Aku hanya menganggapmu teman, tak lebih. Dan tentang aku menjauh darimu
kala itu, itu hanya karena aku… aku..”
“Kau
tak ingin aku terlalu berharap lebih, kan? Dan kau tak ingin aku sakit hati.
Tidak memberi senyum itu lebih baik daripada memberi senyum palsu. Lagipula,
asal kau tau lan, kita beda agama. Aku Islam, kamu Kristen. Mamaku akan murka
jika tau hal ini”
“Aku
benar benar minta maaf. Kita masih bisa berteman, bukan?”
“Tentu!
Tapi gue nggak mau temenan sama orang plin-plan, ya kaya lo gitu”
“Kok
gue?”
“Iya
lan! Lo plin plan banget, tadi make aku-kamu, terus gue-lo, habis ini apa,
ane-ente?”
“Rese
lo, len! Eh, mereka datang tuh, Andre dan pasukannya”
Pengakuan
itupun selesai, aku lega, Helen-pun begitu. Kemudian, kami sibuk dengan tugas
yang sedari tadi menunggu, sebagai penjaga pos. Burung burung masih terus
berkicau kala kami berjalan meninggalkan saung pukul 10.00. Hari ini begitu
indah.
0 komentar:
Posting Komentar