Senin, 16 Maret 2015

Dua Keping Kisah Lama #1

Note; cerpan ini dibuat pas kelas 10, pas jaman alay alaynya. Overall, ceritanya panjang banget dan boring. Ga ada gregetnya di alurnya, ya whatever jaman kelas 10 masih labil labilnya haha. Beberapa plot disini gabungan dari pengalaman nyata, makanya absurd.


“Kepingan Alan”

Senin, 30 Januari 2012 “Namanya Asya. Dia cantik, rambutnya panjang, keturunan setengah Jawa dan setengah Cina dan tentunya dia muslim. Aku mencintainya, sungguh. Tiga tahun yang lalu, aku mengungkapkan semua yang ku rasakan. Betapa aku menyayanginya. Dan dengan senyum yang teramat manis, ia menjawab ‘ya’. Singkat, tapi cukup untuk meledakkan hatiku. Sejak itu, kami berpacaran, lamanya dua tahun. Saat kami melanjutkan sekolah ke jenjang SMA, kami berpisah, ia berusaha menggapai cita citanya dengan bersekolah di SMK Farmasi, Semarang. Dan karena itu, kami harus mengakhiri kisah yang telah kami ukir bersama, pacaran jarak jauh pantang bagi kami. Tetapi meskipun begitu, aku tetap mencintainya.”

 Suitan terdengar membahana di kedua indra pendengarku, muka sumringah di tatapanku terlukis jelas. Semuanya kini menyorakiku. Kulangkahkan kakiku menuju bangku di temani sorakan tiada henti. Bahkan guruku Bahasa Indonesiaku, Bu Dwi, hanya nyengir kuda saat aku sibuk menghayati setiap ucapanku tadi. Ya, hari ini, Bu Dwi memberi tugas dadakan untuk menceritakan masa lalu, didepan kelas. Andre, teman sebangkuku, menceritakan bagaimana ia mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan seluruh koleksi komik Jepangnya dari ibunya sendiri, dan pada akhirnya ibunya menyita seluruh komik yang jumlahnya tiga kardus! Vanesa, betapa ia menyayangi ibunya. Kami semua terlarut dalam kesedihan yang ia rasakan empat tahun lalu, saat ibunya mengalami kecelakan yang hampir menyebabkan kakinya patah.
Helen, ia menceritakan masa lalu yang katanya tak pernah bisa ia lupakan. Dan itu terjadi di dunia maya. Berasal dari grup “Harry Potter Freaks Indonesia” di jejaring sosial, Facebook. Ia menemukan banyak teman baru yang menggoreskan tinta warna-warni dalam kehidupannya yang datar. Ia juga menemukan cinta, katanya. Namanya Hendy. Ia dan teman teman dunia maya-nya memanggilnya Mumun, hanya karena nickname Facebooknya “Edmund Lestrange”, dan nama Edmund terlalu ‘keren’ untuk seorang Hendy. Unik, menurutku. Tidak banyak orang yang mendapatkan apa yang Helen temukan di dunia maya.

Oh ya, ngomong ngomong tentang Helen. Mana ya suaranya? Dari 32 penghuni kelas X-13 ditambah guru yang duduk santai di belakang. Tak terdengar sedikitpun teriakannya, padahal biasanya ia-lah yang selalu bersorak paling keras dengan aksen-logat-ngapak-ala-wong-Tegal, tanpa tahu malu. Ku palingkan mukaku menuju deret bangku paling kiri, nomor tiga, tempat ia biasa duduk. Mukanya di tenggelamkan di kedua telapak tangannya. Rambutnya yang ikal terurai tak beraturan menutupi tingkah anehnya itu. Dan sepertinya tidak banyak yang sadar apa yang telah terjadi padanya.
Helen terisak, larut dalam tangisan emosi yang meluap.

Sabtu, 4 Februari 2012

Sabtu yang cerah.. Begitu cerah, hingga Pak Didi menyuruh kami berganti pakaian olahraga dan mengajari kami bermain basket di lapangan. Bukan! Bukan mengajari, menonton lebih tepatnya. Karena ia hanya mengajari anak perempuan saja dan kami para laki-laki dibiarkan bermain bola sendiri sesukanya. Alih alih dengan perintah konyol dari si ketua kelas, Brian, permainan bola basket kami sulap menjadi sepak bola. Dan bola malang itu dengan senangnya memantul kesana kemari, membuat kami kesakitan gara gara menendangnya terlalu keras.
“Kalian! Anak laki-laki, kemari!” seru Pak Didi.
“Wuuuuuuuu” sorak anak-anak perempuan, terutama Jihan.
“Ini bola apa?” tanya Pak Didi, konyol sekali pertanyaan ini. Spontan kami tertawa dan menjawabnya dengan cekikikan
“Semua orang juga tau kali Pak, itu bola basket” kata Brian.
“Lalu yang kalian mainkan tadi? Namanya apa?” tanya Pak Didi, yang lagi lagi konyol, tawaku tak bisa tertahan lagi.
“Hahahaha! Sepak bola dong, Pak! Masa Pak guru nggak tahu sih?” jawab Fandi, diikuti tawanya yang semakin ricuh.
“Diam! Kalian tau ini bola basket! Kalian juga tau yang kalian mainkan tadi sepak bola. Ah, seharusnya kalian bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya dengan tepat! Bola basket ya dipantulkan, dilempar ke ring, bukannya malah ditendang. Kalian ini kelas X di SMA unggulan, masa kalah sama anak SD? Memalukan!” ceramahnya membungkam ledakan tawa kami.
“Ma-maafkan ka-kami, pak!” ucap Brian, yang tampaknya menyesal.
“Sudah sana main!”
Kami pun duduk melingkar di belakang anak perempuan. Menonton mereka yang berusaha memasukkan bola ke dalam ring. Kali ini giliran Tarra, sampai lemparan kesepuluh, tak ada satupun bola yang masuk. Melihat hal ini, aku cekikikan hingga dipelototi Tarra yang beranjak duduk di samping Helen.
“Alan! Giliranmu, maju!” Pak Didi menunjuk ke arahku.
“A-aku, pak?”
“Iya!” Ku ambil bola yang tergeletak manis dan melemparkannya sembrono ke arah ring. Dan…masuk!
“Satu!” teriak Pak Didi.
“Satu apanya, pak?” tanyaku, polos.
“Ya satu skormu, gundul!” sial, aku terlihat bodoh saat ini, dan itu membuat Fandi semakin tertawa cekikikan.
“Tiga!”
“Lima!”
Hore! Meskipun gagal 2 kali, aku berhasil mencetak angka 5. Berarti, 3 kali lemparan lagi dan jika aku berhasil, angka 8 akan tertulis manis di daftar nilai yang dipegang erat oleh Pak Didi. Ini membuatku semangat.
“Helen! Awas!” Bruk! Helen terjatuh dengan bola yang didekap erat. Sial, lemparan ke 8 tampaknya tidak berada di pihakku.
“Aw..”
“Helen, lo nggak kenapa napa kan?” tanyaku, sembari membantunya berdiri.
“Ya..”
“Maaf, aku tidak…"
“Sudahlah” Ia melemparkan bolanya ke arahku meski jarak kami tidak ada satu meter, dan ia bergegas kembali duduk.
“Cieeee… Alaaan!!” teriak Fandi, keras sekali.
“Wah, cinta lokasi!” Jihan tak mau kalah.
“Bayangin ring itu mukanya Helen, lan! Pasti bola lo masuk terus deh! Haha!” celoteh Eka, cewek yang demen banget debat, anak kesayangan Bu Dwi.
“Ribut apa sih kalian?” tanyaku geram, sekaligus geli. Bagaimana tidak? Belakangan ini, seisi kelasku selalu memojokkanku dengan Helen, entah gosip darimana itu.
“Cie Alan mukanya merah tuh!” siaaaal, Kevin rupanya tak mau ketinggalan. Lupakan, lan. Abaikan! Ayo, 2 kali lemparan lagi! “Wah masuk tuh! Ayo, lan bayangin mukanya Helen sekali lagi!” Kini semua anak mulai melempariku dengan berbagai ledekan-super-aneh. Dan Helen sedari tadi hanya tersenyum masam. Entahlah.
“Yeah! Tujuh, pak! Skorku tujuh kan?” kataku semangat.
“Ya.. Dan kau yang tertinggi, selamat ya!”
“Hore! Asik nih! Len, kasih selamat tuh!” Fandi masih saja semangat menggodaku.

Bel istirahat berbunyi nyaring menandakan pelajaran berakhir. Dengan insiden dan suitan konyol, aku berjalan gontai dengan keringat di sekujur tubuh menuju kelas X-13 yang letaknya di lantai dua. Uh, rasanya seperti berjalan di gurun. Panas, lelah, jauh dan tak berujung.

Sabtu, 25 Februari 2012

Sudah tiga minggu insiden itu terjadi. Dan sudah tiga minggu ini pula, berbagai macam ledekan tentangku dan Helen merajalela. Cerita itu datang tiba-tiba. Saat itu, teman akrabku, Fandi menghampiriku dengan sejuta kehebohan dan mengatakan bahwa Helen menyukaiku. Semula aku tak percaya, tetapi suka itu hal yang wajar kan? Untuk itu, aku bersikap biasa dan berusaha menghargai. Tetapi, ulah teman teman yang selalu memojokkanku membuatku enggan bertemu dengannya. Jam dinding polos tak bercorak masih berdentang. Jarumnya yang tak pernah lelah berhenti bekerja menunjukkan pukul 11.50 WIB. Ya, siang ini cukup panas, bahkan lebih dari panas. Matahari bersinar terik tepat diatas ubun-ubun.

Bel istirahat telah berakhir 5 menit yang lalu, dan ruang kelasku masih bising tiada guru mengajar. Entahlah, mungkin Pak Hadi, guru ekonomi masih duduk terlena menikmati sejuknya AC, dan mengabaikan suara bel yang bernyanyi nyaring. Hana, wakil ketua kelas, memecah kebisingan kelas. Membungkam seluruh kegiatan kami.
“Teman-teman, aku mau jelasin yah buat Wide Game besok, jadi besok kita harus sampai di SD pukul 06.00, wajib memakai seragam pramuka lengkap. Untuk pemandu regu, ada 11 anak nanti kita rapat setelah ini. Untuk PKS, ada 6 orang. Kalian menjaga di setiap persimpangan jalan, pokoknya jangan sampai ada kabar kecelakaan. Oya, pos-nya ada 6. Semaphore, PBB, P3K, Tali Temali, Sandi dan Pengetahuan Umum. Untuk penjaga pos ada 2 orang di setiap pos nanti akan dibagi setelah ini. Sejauh ini, paham?” “Pahaaaaammm!” jawab anak-anak serempak.
“Alan! Alan! Kemari!” Felly memanggilku, dan kuhampirinya dengan ogah-ogahan. Ia tengah duduk melingkar dengan Safira, Eka, Tarra, Levina, Lea, Kevin, Ghani, Fandi, Theo dan.. ada Helen disana.
“Ada apa?”
“Jadi, kita akan membagi penjaga pos”
“Untuk pos semaphore, Safira dan Kevin. Untuk pos PBB, Eka dan Levi. Untuk pos P3K, Tarra dan Lea. Untuk pos tali temali, aku dan Ghani. Untuk pos sandi, Alan dan Helen. Dan untuk pos PU, ada Fandi dan Theo.”
“Baiklah” ada sedikit rasa senang, gugup, dan kecewa menggelitik sudut hatiku. Aku dengan Helen!
“Cie yang sama Alan. Ciee!” celetuk Fandi, ah anak ini mulai lagi.
“Apa sih? Biasa aja kok, kan tugas” kata Helen, renyah sekali.
“Kalian paham, kan?” “Paham!”

Pramuka, salah satu ekskul yang ku suka. Disaat semua anak membencinya, justru aku menyukainya. Berbagai macam kegiatan dari wisma, rally sepeda, dan hingga kini penerjunan selalu ku ikuti. Di saat semua kelas rata-rata mendapat tugas penerjunan di SMP, kelasku mendapat yang berbeda, kami mengajar di 3 SD yang terletak dalam 1 komplek, yaitu SDN Mangkukusuman 2, SDN Mangkukusuman 4, dan SDN Mangkukusuman 7. Aku mengajar sandi bersama Esti dan Helen. Esti di SDN Mangkukusuman 7 dan Helen di SDN Mangkukusuman 2. Dan besok, adalah saat saat terakhir, yang akan berkesan dan pastinya seru! Yap! Wide Game, momen yang paling di tunggu tunggu di penerjunan. Dimana, bocah bocah SD ini nanti akan berpetualang, mengikuti rute yang kami buat, singgah di setiap pos, menjawab soal soal yang kami buat. Dan regu yang mendapat skor tertinggi, mereka-lah yang menang. Seru sekali rasanya! Saat aku SMP, aku pernah mengalami hal serupa. Lelah tetapi menyenangkan. Kini, aku berada di posisi yang berbeda, aku penjaga pos! Ah, membayangkan hal ini rasanya jadi tak sabar menunggu esok hari. Detik detik berlalu terasa sangat lama.

Minggu, 26 Februari 2012.

 Mendung menyapa kota Tegal pagi ini. Terlihat suram, tetapi tidak bagiku. Ku kayuh sepeda kesayanganku ini dengan sejuta penantian. Hari ini kan momen yang ditunggu-tunggu, jadi tidak ada yang merusak moodku untuk menjalani hari ini, apapun dan siapapun. Sebuah bangunan yang ber-arsitektur persis sama kini tergambar di mataku, ber-cat kuning pucat dengan halaman luas tidak tertata yang menyebabkan genangan air hujan tertuang dimana mana. Tiga tiang bendera berdiri kokoh di setiap depan sekolah, dan ku lihat banyak anak kelas 4 dan 5 yang sibuk berbincang, menerka nerka bagaimana rasanya widegame nanti. Maklumlah, sepertinya ini widegame pertama mereka. Ku parkirkan sepedaku di lorong dekat kelas 3 SDN MKK 2. Masih terlalu pagi sehingga koridor di sampingku terlihat gelap. Dua anak kecil, perempuan dan laki-laki berlarian menuju arahku.
“Kak! Timmy iseng banget nih kak! Masa kunciranku dilepas, kan aku nggak bisa masang lagiii” isak Stefani, si pipi chubby kelas 4 SDN MKK 2.
“Ye..Ye.. Stefani kalah! Kasian deh, dadaaaah” dan Timmy pergi begitu saja tanpa sempat ku tegur.
“Sini kakak pasangin” sebuah pita kecil warna pink ku terima dan dengan keahlian-ala-kadarnya ku ikatkan pita itu ke rambutnya yang super halus.
“Udah, dik”
“Makasih kakak” senyum manis terulas di wajahnya yang cute dan ia pergi mengejar teman temannya yang saling sibuk memamerkan bekal yang dibawa.
“Oke dik, hati-hati ya!”
“Alan!” seseorang memanggilku, Helen.
“Lucu ya dia?” sapanya.
“Iya, imut banget. Len, selamat pagi!”
 “Pagi juga, oya kita ditunggu sama Felly di bawah pohon sana. Yuk!”
 “Ayo” Ku pandang Helen dari samping, tingginya semampai sama sepertiku. Rambutnya yang ikal sebahu dibiarkan terurai. Indah sekali, dari pertama aku bertemu dengannya, aku terpikat dengan rambutnya yang begitu hitam kelam, paling hitam diantara yang lain. Tetapi dengan ucapanku tadi, bukan berarti aku mencintainya, aku hanya suka rambutnya yang indah. Melihat gelagatku, sepertinya Helen sadar bahwa aku tengah memperhatikannya.
“Kenapa sih? Ada yang salah, lan?”
 “Oh, nggak kok. Rambut lo kok nggak di kuncir sih? Peraturannya kan rambut lebih dari sebahu itu harus di kuncir”
“Gue nggak pernah suka rambut gue dikuncir, ingat? Dan asal lo tau lan, peraturan dibuat untuk dilanggar” ia menyunggingkan senyum khasnya. “Dasar..”

Dibawah pohon rindang dekat koridor SDN MKK 2, Felly, Levi, dan Theo tengah membagi kertas polos, yang ku tebak itu adalah soal.
“Cie, pagi pagi udah berduaan. Mesra banget sih!” celetuk Levi.
“Apaan sih, lev? Kan lo sendiri yang nyuruh gue manggil” teriak Helen spontan.
“Iya deh sorry. Buruan dong kesini” teriaknya sekali lagi, Levi memang jagonya urusan jerat jerit. Entahlah, stok suaranya memang tak pernah habis.
“Sabar dong. Baru juga nyampe udah dikasih teriakan, wu!” kataku, agak-nyolot.
“Nih!” Felly menyodorkan 5 lembar kertas soal sandi. Tulisannya begitu rapi, tidak sepertiku yang terlampau buruk persis ceker ayam.
“Gila rapi banget tulisan lo, fel!” pujiku.
“Iya dong, buruan gih baris. 15 menit lagi upacara dimulai”
Aku melangkah menuju lapangan, dimana ratusan anak anak tengah berbaris menanti petualangan dalam sejarah pramuka di garis kehidupan mereka.
“Alan! Tungguin dong!” teriaknya yang kutinggalkan begitu saja.
“Okay”
 Dan aku kembali berjalan, diiringi seulas senyuman mentari yang muncul dibalik awan. Bersama Helen.

Perasaan gundah berkecamuk dalam batinku saat ini. Upacara telah selesai 45 menit yang lalu. Kini, aku tengah duduk di saung yang terlampau rindang dilindungi pohon nan besar, dan tentunya diantara lebatnya ilalang. Lokasi ini begitu sempurna, untuk kegiatan pramuka. Ada perumahan penduduk terpotret didepanku, di samping kanan, jembatan kecil bertengger kokoh diatas sungai kecil yang kotor berhiaskan banyak sampah, meskipun papan “Dilarang Buang Sampah Disini” tertancap kuat di atas tanah yang tak terlalu subur. Ku pandang layar laptop yang memainkan game ‘Angry Birds’. Helen, sedari tadi asyik bermain angkak berwarna pink dan pelepah pisang yang nantinya untuk menandai angket setiap regu. Konyol sekali dia. Sebenarnya dia baik, hanya karena teman teman sekelasku kerap kali memojokkanku dengannya, ada rasa enggan bertemu dengannya. Sungguh, perasaanku biasa saja. Aku menganggapnya teman, teman baik, tak lebih. Sial, memikirkan tentangnya membuatku bimbang.
“Aw! Alan! Lo bawa tissue gak?”
“Nggak, kenapa sih?”
“Tangan gue, argh casing hape gue juga kena! Duh..” ku lihat tangannya berlumuran cairan kental dari angkak tadi.
“Yaelah, len. Tangan lo jadi cantik tuh, biarin aja deh nanti juga kering. Lagian lo iseng banget mainan angkak, kayak nggak ada mainan lagi aja”
“Lagian gue mau ngobrol juga sama siapa? Lo serius banget mainan laptop” ucap Helen kesal, tetapi kemudian ia sadar akan sesuatu yang seharusnya tidak diucapkan. Aku menangkap maksudnya.
“Ups.. sorry, maksudnya..” katanya sekali lagi.
“Sorry len, gue yang salah.”
“Nggak, gue salah. Udah main lagi aja gih, sorry ganggu”
“Sudahlah..” ku tutup laptopku dan mengalihkan perhatian ke dirinya.
“Kok ditutup? Duh, udahlah lan. Gue juga nggak tau mau ngobrolin apa”
Dan aku terdiam. Setetes air kekecewaan agaknya tertuang, tumpah di gelas perasaanku. Kami terjebak dalam melodi keheningan, bisu. Sesekali burung di sangkar yang tergantung di paviliun komplek perumahan berkicau menyanyikan alunan musik. Ku ambil buku tebal tentang misteri dunia yang tak terungkap. Menarik, menurutku. Ku pinjam dari Theo. Melihat Helen yang duduk terdiam, rasa iba menyergap batinku. Mungkin di pos lain, Eka, Lea, Kevin, Tarra, terlebih Fandi pasti sedang bergurau, bercanda atau apalah itu yang pasti bukan suasana sunyi seperti ini.
“Len, mau pinjem ini nggak? Menarik lho”
“Apasih?”
“Unbreakable Mystery of the World..”
“Nggak deh, makasih” GLEK! Penolakan yang simpel, renyah sekali. Hatiku mencelos, tetapi dengan bakat akting-ala-kadarnya, aku bersikap biasa saja. Drrtt.. Hapeku bergetar..

“Udah sampe pos 3 nih, cepetan lo sama Helen siap-siap, jangan pacaran terus, haha”
From : Lea

Dasar Lea, suasana hening tak lebih dari kuburan ia bilang pacaran.
“Len bentar lagi pada nyampe nih, kita disuruh siap-siap”
“Udah sejam lebih nih nunggu, gue ke sekolah ya, haus”
“Yah jangan gitu dong, kata Lea bentar lagi kok” Lebih dari 20 menit kami menunggu, belum ada satupun tanda regu yang akan datang melewati jembatan kecil itu. Helen terbelenggu dalam penjara kebosanan yang teramat sangat. Karena ku lihat, ia sedang membenamkan mukanya ke dalam telapak tangannya. Gerak geriknya sama seperti saat aku menceritakan tentang Asya. Ups! “Helen”
“Ada apa?”
“Gue mau ngomongin sesuatu, seriusan”
“Oke” ia menegakkan tubuhnya dan mengarah padaku.
“Mm..”
“Apasih? Gue lagi ngantuk. Buruan dong”
“Sabar dong, aku mau tanya. Kamuemangbeneransukasamaaku?”
“Ha? Ulangin plis, gak jelas”
“Duh, Helen. Gini nih kebanyakan dengerin musik”
“Jangan mengalihkan pembicaraan, tadi lo ngomong apa?”
“Jadi… Kamu beneran suka sama aku?” Ia terdiam sepersekian detik, dan tatapannya berubah dingin menusuk kedua manik mataku. Sepercik rasa bersalah mengalir di darahku, ugh, kenapa harus terpikirkan pertanyaan konyol ini?
“Len.. Len.. Maaf..” Bibirnya menyunggingkan senyum, kemudian berkata..
“Lo sakit ya? Tumben tanya gituan, nggak pake gue-lo lagi! Kalo iya emang kenapa?” Deg! Lagi-lagi, kalimat yang ia ucapkan begitu renyah. Tetapi aku suka, tak ada rasa gugup yang membuncah terlihat di pancaran wajahnya. Sebaliknya, ia terlihat senang. Mungkin inilah yang dia tunggu-tunggu sedari tadi.
“Sejak kapan kau menyukai..” “Tepat! Sejak PTM, ingat? Mungkin sekitar Juli 2011, sekarang tanggal berapa? 26 Februari? Tujuh lan, tujuh! Yap, tujuh bulan. Lo tau, sebelumnya gue nggak pernah suka dengan cowok selama ini.” Deg! Ia memotong pembicaraanku, dan berceloteh tentang sesuatu yang kuduga tak terduga sebelumnya.
“Apa?”
“Ups, sorry. Aku..”
“Aku senang kamu jujur, tapi sebelumnya aku minta maaf. Helen, aku tidak..”
“Tepat! Kau tidak mempunyai perasaan yang sama, kan? Tenanglah, lan. Aku sudah menebaknya saat perasaan itu datang padaku. Selalu sama. Dan aku minta maaf, saat itu aku tidak membendung air mata, aku tak cukup kuat, terlebih aku cengeng. Tetapi dengan begitu, aku patut berterimakasih denganmu. Kau membuatku lebih tegar, lan. Thanks ya”
“Hah?”
“Sudah jelas kan, semuanya?”
“Len, a-aku..”
“Tepat! Mau tanya apa lagi?”
“Lo ini, sedari tadi, tepat tepat tepat terus. Huh”
“Maaf deh, oya, kenapa sih, lo nggak suka kalo gue suka lo ya? Anak cowok kan biasanya gitu”
“Mmm, len aku minta maaf ya, mungkin aku kurang menghargai perasaanmu”
“Wajar kok” “Apa yang kamu katakan tadi benar, maaf aku tidak mempunyai perasaan yang sama. Aku hanya menganggapmu teman, tak lebih. Dan tentang aku menjauh darimu kala itu, itu hanya karena aku… aku..”
“Kau tak ingin aku terlalu berharap lebih, kan? Dan kau tak ingin aku sakit hati. Tidak memberi senyum itu lebih baik daripada memberi senyum palsu. Lagipula, asal kau tau lan, kita beda agama. Aku Islam, kamu Kristen. Mamaku akan murka jika tau hal ini”
“Aku benar benar minta maaf. Kita masih bisa berteman, bukan?”
“Tentu! Tapi gue nggak mau temenan sama orang plin-plan, ya kaya lo gitu”
“Kok gue?”
“Iya lan! Lo plin plan banget, tadi make aku-kamu, terus gue-lo, habis ini apa, ane-ente?”
“Rese lo, len! Eh, mereka datang tuh, Andre dan pasukannya”


Pengakuan itupun selesai, aku lega, Helen-pun begitu. Kemudian, kami sibuk dengan tugas yang sedari tadi menunggu, sebagai penjaga pos. Burung burung masih terus berkicau kala kami berjalan meninggalkan saung pukul 10.00. Hari ini begitu indah.

0 komentar:

Posting Komentar