Sabtu,
29 September 2012
Tujuh
bulan berlalu.. Tali pertemananku dengan Helen yang dulu sempat terputus,
kembali ku ikat, benar benar erat. Perlahan tapi pasti, kami saling berbagi,
sebagai sahabat. Helen sendiri yang memintaku begitu, sama halnya yang ia
lakukan dengan si Mumun yang ada di dunia maya. Kini, ia dan Mumun tak lebih
dari kata kakak dan adik. Begitu akrab. Ia ingin aku begitu, ia bisa
mengandalkanku dikala ia butuh, begitu juga denganku. Paling tidak ia tak
terlihat seperti mengharapkanku. Lagipula, selama ini aku tidak menyesal
bersahabat dengannya, sungguh. Helen sangat menyenangkan.
Pagi
ini begitu cerah, namun mulutku masih menguap lebar. Semalam pukul 11.30, aku
menyelinap keluar rumah dan pergi ke rumah Asya, sendirian tanpa Helen. Karena
rumah Helen terlalu jauh, dan ini tengah malam. Hanya dukungan dan doa yang ia
berikan untukku. Ya, tepat 29 September, Asya berulang tahun ke 16 tahun dan
kabar baiknya ia sedang tidak di Semarang. Semalam, blackforest yang sengaja
kupesan di toko roti “Strawberry” ku berikan padanya. Tulisan “Happy Birthday
Asya Andrian” dari cream menghiasi permukaan blackforest yang begituuuu lezat.
Beruntunglah, aku tak perlu bertemu orang tuanya dulu untuk bertemu Asya. Dia
sendiri yang membuka pintu. Ia terlihat begitu berbeda, meskipun masih memakai
piyama bercorak kartun Snoopy, ia masih tetap cantik. Ah, Asya tak pernah
sedetikpun terlihat tak cantik. Rambutnya yang dulu pendek sebahu kini panjang
melebihi rambut Helen. Wajahnya memancarkan sinar kedewasaan. Matanya semakin
berkilau. Ia bahagia, sekaligus kaget. Karena aku tak memberitahu kedatanganku
sebelumnya, tentu saja karena ini semua ide Helen demi kejutan untuknya.
“Happy
Birthday, Asya!”
“A-a-alan,
kau, astaga!”
“Aku
orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun, kan?” Speechless, tatapan
kami bertemu. Dengan senyum yang terukir sangat manis, ia berkata ‘ya’. Rasanya
sama seperti saat aku mengungkapkan perasaanku, ingatanku melayang ke tiga
tahun lalu. Ah, tapi tak mungkin, untuk saat ini biarkan perasaan rindu yang
membuncah ku lepaskan. Ia menerima blackforest pilihan Helen dan tak henti
henti mengucapkan terimakasih. Di teras depan rumahnya, percakapan rindu-pun
mengalir. Tak lupa ku ceritakan tentang Helen, ia begitu terkesima. Akhirnya,
dibawah terangnya rembulan dan mutiara kecil yang bertebaran di kelamnya
permadani hitam, aku berjanji akan mempertemukannya dengan Helen, nanti sore.
Teng,
teng, teng. Bel pelajaran berakhir berbunyi. Sekejap kantukku lenyap dan dengan
semangat ku rapikan buku yang berserakan diatas meja dan memasukkannya ke dalam
tas. Yap, pelajaran kimia terasa begitu membosankan dan lama, apalagi Pak
Hendri tidak henti hentinya berbicara menjelaskan materi yang membuatku semakin
terkantuk kantuk. Koridor kelas XI kini ramai dipenuhi anak anak yang bergegas
ingin pulang. Dengan tubuh yang tergolong liliput, ku telusuri koridor menuju
kelas IPS. Ya, aku dan Helen tak lagi satu kelas. Aku di XI IPA 5 dan Helen di
XI IPS 1. Tampaknya Helen belum keluar kelas, tak seorang pun terlihat keluar
dari ruang kelas lantai tiga paling ujung itu. Ah, sebaiknya kutunggu dia di
lobi dekat tangga. 15 menit.. 20 menit.. Sosoknya masih saja belum muncul.
Seharusnya jam segini seluruh pelajaran usai, batinku. Ku tatap layar
handphoneku, memastikan Helen memberitahuku sesuatu bahwa ia akan pulang telat,
tapi nihil. Layar handphone-ku masih kosong, tidak menunjukkan ada pesan masuk.
“Len,
lama banget sih. Pelajaran apa?”
Sent!
Dalam kurun waktu satu menit, hapeku bergetar..
“Geografi.
Pak Azmi lagi kebakaran jenggot nih, ntar deh gue ceritain”
From :
Helen
10
menit kemudian, koridor kembali ramai. Anak laki laki semuanya tertawa, meledak
dan lari tunggang langgang menuruni tangga, menghindari kejaran dan sumpah
serapah dari Pak Azmi, guru geografi. Helen-pun datang.
“Ada
apa sih, len? Rame banget”
“Anak
cowo tuh usil, masa iya tadi kan Pak Azmi lagi nerangin pake globe. Nah
globenya itu lepas, kan bulet tuh kayak bola. Jadilah, diambil si Tomy dan
dilempar lah, tendang lah. Gila kali! Terus Pak Azmi marah marah deh”
“Hahahaha!
Seru ya? Tadi gue bosen banget pelajaran kimia”
“Kasian
deh! Eh, semalem sukses kan?”
“Iya
len! Banget! Terimakasih banyak ya! Ada kabar baik, si Asya minta ketemuan sama
lo len! Semalem aku cerita tentang kamu, dia terpesona katanya. Nanti sore, di
McD bisa kan?”
“Wah
bisa banget tuh! Tapi traktiran kan?”
“Yaelah,
len. Lo ini memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Yaudah deh.”
“Thanks
Alaaan, eh pulang yuk. Gak sabar nih ntar sore”
“Sipp!”
Ah,
membayangkan nanti sore membuat hatiku gundah, tak sabar. Ku yakinkan diriku,
takkan ada hal buruk yang akan terjadi. Semuanya akan baik-baik saja.
Ku
tatap diriku di cermin yang menempel di dinding kamar. Kaos, oke. Jeans, oke.
Rambut, oke. Apalagi ya yang kurang? Oya, kacamata. “Mamaaa, tadi aku naruh
kacamata dimana ya?” “Di hatimu, nak!” jawab mamaku yang sibuk menonton re-run
siaran Indonesian Idol. Ah, mamaku memang begitu. Jangan pernah tanya apapun
jika ia tengah menonton acara Indonesian Idol, jawabannya pasti selalu berkisar
tentang gombalan anak remaja. Drrrt.. Drrtt..
“Lan,
lo lama banget. Gue udh di Mcd, sm Asya nih. Dia cantik bgt lho, buruan gih!”
From :
Helen
Deg!
Helen? Kusambar kacamata yang tergeletak manis di atas meja belajar, dan segera
mengambil kunci motor sebelum..
“Lan,
jangan sampai malam lho ya. Inget, ke gereja!” pesan mama.
“Iya,
ma! Alan berangkat dulu ya?”
Pikiranku
kacau. Helen benar benar konyol, dan lebih konyol lagi, ia telah bertemu Asya.
Sungguh, aku tak bisa membayangkan, akankah mereka akrab atau justru
bertentangan dan ketika aku tiba mereka tengah menjadi tontonan gratis. Toh
bagaimanapun juga, meski Helen sahabatku, perasaannya belum berubah, ia tetap
mencintaiku. Membayangkan hal buruk membuatku hampir menghantam polisi tidur.
Tuhan, jangan sampai itu terjadi. Bukankah semua akan baik-baik saja? 10 menit
kemudian..
“Lama
banget lan? Dandan dulu ya? Dasar!” ledek Helen seraya menikmati
cheese-burgernya.
“Apasih,
len? Sorry tadi gue nyariin kacamata” jawabku ringan sembari berjalan menuju
Helen yang duduk di sofa paling pojok. Kemudian, aku duduk di samping Asya,
yang sedari tadi menunduk. Ia terlihat mempesona, dengan gaun putih yang ia
kenakan. Beda sekali dengan Helen yang memakai kaos ungu dan jeans lututnya.
“Hey,
sya. Kok nunduk, ada apa?”
“Eh,
enggak kok lan”
“Eh
len, udah ngucapin happy birthday ke Asya belum?”
“Helen
udah ngucapin kok, lan. Kamu nggak salah pilih teman, dia baik banget. Makanan
di depan ini, semuanya di traktir sama Helen.”
“Ha?”
“Lo
kelamaan sih, lan! Kan nggak enak, kita kita udah nungguin bermenit menit,
nggak pesen makanan. Kayak orang hilang aja. Lagian, anggep aja ini hadiah gue
buat Asya. Toh jarang jarang gue bisa ketemu cewe secakep dia.”
“Ah,
len, apa apaan sih” kata Asya.
“Wah,
tumben baik len! Berarti gue kagak jadi traktir dong!”
“Eh,
eh.. Ya enggak dong, lo tetep nraktir gue, di kantin selama sebulan!”
“Sebulan?
Tega lo, len!”
“Biarin”
“Helen tega deh. Jangan – jangan lo yang bikin Asya nunduk terus gini, iya
kan?”
“Ih,
enak aja!”
“Terus
Asya kenapa nih? Sya, lo lagi nggak sakit kan?”
“Umm,
ehm..”
“Ada
yang beda sama lo, sya. Lo kenapa?”
“Lan…”
“Udah
sya bilang aja, ini yang terbaik kok” Helen berhenti mengunyah cheese
burgernya, dan ia tersenyum. Asya membalasnya dengan tatapan menerawang,
bertanya tanya apakah ini saat yang tepat?
“Lho,
ada apa ini?” tanyaku diselimuti keheranan. Bagaimana tidak? Helen dan Asya
baru pertama kali bertemu, dan kini mereka bersikap seolah menyembunyikan
sesuatu.
“Len..”
sekali lagi, Asya menengok ke arah Helen, yang hanya dibalas senyuman. Ada
sebutir penyesalan dihatinya tapi ia tau mungkin ini yang terbaik. Serpihan
ketakutan dengan apa yang akan terjadi bergelayut di pikirannya. Matanya sayu.
Kemudian, ia menarik nafas panjang, perlahan tapi pasti. Lalu, menegaskan
hatinya bahwa apa yang dikatakan Helen benar. Ini yang terbaik. “Lan, aku minta
maaf..”
“Kamu
salah apa?”
“Jangan
potong pembicaraannya, kawan!” teriak Helen, begitu saja. “Ba-baiklah” aku
kaget. Asya mengamati butiran kristal kecil yang mengalir di permukaan gelas
Mocca Float-nya, lalu menatapku lagi, sangat dalam.
“Aku
menghargai apa yang kamu lakukan semalam. Kau teman terbaikku, lan. Tapi..”
“Ya?”
“Tapi
sekali lagi kau hanya kepingan masa laluku. Aku ingin mengatakan hal ini sejak
dulu, tapi aku takut. Aku takut kau tidak bisa menerima kenyataan, aku takut..
kau akan membenciku, dan menganggapku tak lebih dari amuba. Sungguh, aku
menghargaimu, tapi sebagai teman, sahabat. Kemudian, aku bertemu Helen. Pertama
kali bertemu dengannya, aku menyukainya. Ia begitu baik, ramah. Tak sadar, aku
menceritakan apa tujuanku sebenarnya mengajakmu kemari. Lalu, Helen mengatakan
padaku kalau kau kuat. Kau takkan rapuh, dan ia berkata semua akan baik-baik
saja.”
“Maksudmu?”
“Aku
tak mencintaimu lagi, lan. Kau masa laluku” Sederet kata yang keluar dari
mulutnya begitu tajam, hingga menghujam kepingan hatiku.
“Dan,
aku… telah menemukan penggantimu.” Klasik!
“Baguslah
kalau begitu”
“Lan…”
Sekelumit rasa kecewa menghantam otakku. Kini, aku menatap Helen, ia masih
tersenyum. Benar apa kata Helen, ini yang terbaik.
“Lan,
aku benar benar menghargaimu”
“Kau
sudah mengatakan itu” Ia menunduk lagi.
“Baiklah,
kurasa aku akan pergi sekarang. Nanti malam aku harus siap-siap kembali ke
Semarang. Makasih banyak, lan, len. Sampai jumpa!”
“Semoga
perjalananmu menyenangkan!” Helen memeluk Asya. Pemandangan yang sendu.
Kemudian, berbalik mengarah padaku dan berjabat tangan, erat sekali.
“Baik-baik
disana ya, sya!” Ia pergi, sosoknya hilang dari tatapanku, meninggalkan sejuta
kerinduan yang masih terpendam.
“Kau
takkan meluapkannya disini, kan? Ayo, kita pergi. Aku tau tempat yang bagus
untuk keadaanmu sekarang” Dan ia membawaku pergi ke suatu tempat, entah dimana.
“Sampai”
Panorama alam terpotret di mataku yang dibingkai lensa kacamata. Ya, Helen
membawaku ke bukit kecil, dekat rumahnya. Pohon rindang berjejeran, matahari
tampak di ufuk barat, memberikan sentuhan aurora merah kejinggaan pada luasnya
langit yang dihiasi gumpalan kapas putih yang berserakan. Pemandangan yang
asri, indah sekali. Disebelah timur, kawasan perumahan “Pondok Jati”,
berjejeran rumah rumah beraksen minimalis, namun mewah. Sebuah komplek yang
elite.
“Yuk,
kesana” Helen berlari, dengan nafas terengah engah ku kejar dia. Kemudian ia
berhenti, memandang pohon yang kelihatannya paling besar, paling kokoh sendiri.
“Teriak
sana!” katanya.
“Apa?”
“Iya,
lo teriak. Biar lega” “
Tapi,
gue gak..” “
Percaya
sama gue!” Absurd, namun kuturuti perintahnya. Dengan sekuat tenaga dan otak
yang masih ‘agak’ kacau, aku teriak. “Aaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!”
“Lagi!”
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!
Asyaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!! Lo tega syaaaa!!!”
“Hah?
Kok tega? Dia kan hanya mengatakan yang sebenarnya”
“Tapi
itu ampuh banget bikin hati gue tercabik-cabik tau nggak!”
“Gausah
melankolis lan. Ayo, move on!”
“Gakbisaaaaaaaa!!”
“Terus,
kapan lo mau hidup di masa depan? Asya aja bisa, gue juga. Lo harus bisa dong!”
“Helen…”
“Gue
tau lo bisa, pasti bisa!”
“Tapi
gue ga akan pernah bisa, Asya terlalu..”
“Past
is past. Don’t think too much about it, never let it bring you down from
pursuing your dream. Just learn”
“Helen..”
Drrrtt…
Lagu Waiting Outside the Lines mengalun dari handphonenya. Panggilan masuk.
Kemudian..
“Lan,
sorry banget. Gue disuruh balik sama mama. Sorry, cuma bisa bantu lo segini.
Kalo lo masih butuh bantuan gue, nanti mampir ke perumahan itu. Blok F, nomor
13. Bye!”
“Len..”
“Ya?”
“Makasih
banyak ya..” Jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku
menunjukkan pukul 16.40. Belum terlalu gelap. Ku rebahkan diriku di rerumputan
dan memejamkan mata, menikmati hembusan angin dan mencoba melupakan kenangan
getir tiga tahun yang lalu.
Bel
rumah bercat kuning dan beraksen minimalis telah ku tekan berkali-kali. Namun,
satupun penghuni rumah tersebut tak kunjung keluar. Ku teriakkan nama Helen
berulang kali, agak tak sopan memang. Tapi, daripada aku membuang waktu lebih
lama lagi, ku ambil jalan pintas dengan meneriakkan namanya. Akhirnya pintu
terbuka..
“Eh,
Alan, sorry nunggu lama.” Ia tergopoh gopoh berlari membuka pagar dan
mempersilahkanku masuk.
“Ada
apa?”
“Mau
pinjem partitur lagu ‘second you sleep’ buat padus besok. Punya gue ilang.
Boleh nggak?”
“Oh,
bentar ya”
Dua
menit kemudian, ia menuruni tangga spiral sembari memegang kertas pesananku,
partitur. Seorang wanita berumur kira kira 38 tahun keluar dari dapur, membawa
setumpuk kardus. Ia menoleh ke arah Helen, lalu ke arahku. Tiba-tiba tatapannya
berubah dingin. Ia menjatuhkan kardusnya dan bunyi gemerincing berderu hebat
dari dalam kardus, nampaknya kardus itu berisikan ratusan sendok, atau garpu.
“Siapa
dia, len?” tanyanya. “
Temen
Helen, ma. Ini lagi minjem partitur” ternyata Mamanya.
“Namanya?”
“Nama
saya Alan, tante”
“Non-islam
ya? Kristen? Katholik?” aku dibuat bingung dengan pertanyaan absurd itu.
Tatapannya semakin dingin, penuh aura kebencian. Helen hanya menunduk.
“Kristen.”
“Helen,
masuk kamar! Dan kamu, silahkan pergi dan jangan pernah datang ke rumah ini
lagi!” Aku tersadar, bisikan suara Helen menggema di telingaku “Aku Islam. Kamu
Kristen. Mamaku akan murka jika tau hal ini”
Sabtu,
27 Oktober 2012
Sebulan berlalu.. Semenjak kejadian kala sore
itu, Helen tak lagi mau berbicara denganku. Matanya selalu terlihat sayu,
seakan menyembunyikan sesuatu yang tak ingin ku ketahui. Lalu, seminggu
kemudian. Ia hilang, bagaikan ditelan bumi. Ia tak lagi berangkat sekolah.
Rumahnya pun terlihat sepi, kosong. Tak ada surat, tak ada kabar. Kutanyakan
perihal ini pada Fandi, teman sekelasku dulu. “Lo nggak tau ya? Dia kan udah
pindah, ngikut orang tuanya ke Paris.” Tak pernah secuil-pun ia membicarakan
tentang ini. Ia pergi begitu saja, tanpa meninggalkan jejak. Dan yang lebih
kronis lagi, semua teman-temanku sudah mengetahuinya. Hanya aku, aku teman
dekatnya, sahabatnya yang tak pernah tau kepindahannya. Takkan ada lagi, seseorang
yang akan menggantikan sosoknya, canda tawanya, muka polosnya. Terlebih, rambut
kelamnya. Hanya satu Helen yang ku tahu, Helen Putriana Shary. Takkan ada lagi,
Helen lain yang seperti Helen. Didalam suasana gereja yang kudus, aku
termenung.
“Aku
percaya kepada Allah Bapa yang Maha Kuasa, khalik langit dan bumi. Dan kepada
Yesus Kristus AnakNya yang tunggal Tuhan kita.”
“Yang
dikandung dari Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria. Yang menderita sengsara
dibawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun
dalam Kerajaan Maut.”
“Pada
hari yang ketiga, bangkit pula dari antara orang mati. Naik ke sorga, duduk
disebelah kanan Allah, bapa yang Maha Kuasa. Dan dari sana Ia akan datang untuk
menghakimi orang yang hidup dan yang mati.”
“Aku
percaya pada Roh Kudus. Gereja yang kudus dan am, persekutuan orang kudus.
Pengampunan dosa. Kebangkitan daging. Dan hidup yang kekal.”
“Tuhan,
lindungilah temanku dimanapun ia berada. Biarkan kami menyongsong, meraih
secercah harapan untuk masa depan. Tuhan, pertemukanlah aku dengan dia, suatu
saat nanti, entah kapan”
“Kepingan
Helen”
Kamis,
28 Juni 2018
Semenjak
La Ville lumière atau Kota Cahaya, ku singgahi 6 tahun lamanya, sosok Alan tak
pernah lagi ku jumpai. Aku merindu. Rindu akan rumah lamaku di Pondok Jati,
teman teman di Indonesia, masakan Indonesia, dan apapun yang kini tak bisa lagi
ku temukan. Kini, aku bekerja paruh waktu dengan gaji besar sebagai ahli gizi,
suatu bidang yang berlandaskan ilmu alam. Padahal, saat di Indonesia, aku
dijebloskan ke jurusan IPS atau ilmu sosial. Collège de Sorbonne, universitasku
di Paris mengantarkanku meraih masa depan yang ku dambakan. Kuhabiskan waktu
senggangku untuk memandangi Sungai Seine, mengunjungi Musee de Louvre, Sacrè
Cœur, Les Invalides, Arch de Triompe atau Grand Palais dan tempat wisata
menarik lainnya. Satu satunya tempat yang belum terjajah adalah Disneyland
Resort Paris, taman tema terbesar di Eropa. Seperti senja ini, aku tengah
berdiri di Menara Eiffel, tepatnya di platform tertinggi, dimana aku bisa
melihat semua arsitektur, semua pemandangan kota Paris yang terbentang sejauh
mata memandang. Kuaduk tasku untuk merogoh uang receh, untuk alat yang
bertengger di pagar besi, semacam teleskop. Kemudian, mendekatkan mataku ke
lensa teleskop, menikmati bangunan yang tertata rapi.
“Notre
Dame de Paris… Palais Garnier… Place des Vosges..”
Drrttt..
Handphone-ku bergetar, sebuah gambar surat kecil muncul seketika, menandakan
SMS masuk. Ah, mama..
“Bonne
journèe, Mama dan Papa pergi ke desa Barbizon, kemungkinan besar pulang besok
siang. Baik – baik dirumah ya. Je t’aime” Selalu begitu. Sejak kepindahan
keluargaku ke Paris, berbagai macam kesibukan memadati jadwal kedua orang
tuaku. Tak sering kami berlibur bersama, meskipun tempat wisata disini tak
terhitung jumlahnya. Dirumah, aku lebih sering menghabiskan waktu bersama
Meredith, kucingku dan pembantuku asal Perancis, Madamoiselle Collete.
Untunglah, Collete begitu baik dan pengertian. Setelah puas memandangi
bentangan kota Paris, aku menelusuri toko miniatur dekat platform kedua.
Berbagai macam pernak-pernik berbau Eiffel terpampang disini. Sebuah bola
kristal yang didalamnya ada menara Eiffel menarik perhatianku.
“Combien
est-il?”
“8
euro”
“Ce
fonds. Merci”
“Merci”
Aku pergi keluar toko, sebelum..
“Aw!”
aku menabrak sukses, seorang pria oriental yang berjalan tergopoh gopoh.
“Dèsolè!
Dèsolè! Que faites-vous tous?”
“Je
vais bien”
“Dèsolè.
Laissez-moi vous aider á” Ia membantuku berdiri, dan menenteng tas kecil
belanjaanku di toko miniatur tadi.
“Vos
trucs est endommagè. Je vais le remplacer” kata pria itu terbata-bata, jelas
saja, gara gara tabrakan tadi, bola kristalku pecah. Aku kehilangan 8 euro.
“Pas
besoin!” kataku, ia berniat menggantinya, tapi menurutku tak usah. Toh, aku
masih bisa membelinya lagi. Ku tatap mukanya yang terasa tidak asing lagi,
kemudian..
“Lo
Alan ya? Indonesia?” tanyaku, spontan dan agak menjerit.
“Astaga!
Helen!” muka keruhnya berubah menjadi muka bahagia, dalam sekejap. Begitupula
aku, siapa sangka, kita akan bertemu lagi bahkan di Menara Eiffel, Paris!
“Helen
Putriana Shary! Finally, I meet you!” ia memelukku.
“Lo
ngapain disini, lan?”
“Gue,
gue sukarelawan, len. Gue bakal kerja di yayasan Columbine. Menyelamatkan anak
anak seluruh Perancis yang ingin sekolah. Hmm..”
“Hebat!
Gue bangga, lan!”
“Lo
sendiri kerja apa sekarang?”
“Ahli
gizi di Charity Hospital.”
“Rupanya
kita berhasil menggapai impian kita!”
“Yap!
Mmm, udah berapa hari di Paris, lan?”
“Ini
hari kedua, gue niatnya mau cari apartemen. Lo bisa bantu gue gak?”
“Wah,
kebetulan banget. Deket rumah gue, ada apartemen tuh!”
“Merci,
len. Merci”
Rasa
bahagia melapisi permukaan hatiku. Di kota Paris ini, tepat di Menara Eiffel,
aku bertemu dengannya! Wajahnya tak banyak berubah. Matanya tetap sipit
dibingkai kacamata minusnya. Kulitnya pun tetap putih, hanya saja ia terlihat
lebih tinggi. Rupanya, kegemarannya bermain basket membuahkan hasil. Kemudian,
ku ajak dia kerumahku, di L’lle de la Citè, sekedar melepaskan penat, dan
menghujaminya dengan topik seputar Paris. 2 jam kemudian, kami mengisi perut
yang keroncongan di sebuah kafe di Champs-Élysées.
“Helen,
gue mau nanya”
“Ya?”
“Kenapa
lo gak ngasih tau ke gue kalo lo pindah ke Paris? Lo pergi gitu aja. Semua
temen-temen tau lo pindah, tapi gue…enggak.” aku hampir tersedak Ratatouille
yang tengah ku santap.
“Umm,
ehm.. Sorry lan, gue.. sebenernya pas kita lagi di bukit, gue mau ngomong itu
semua. Tapi Mama nelfon, inget? Dia bilang kepindahan keluarga gue ke Paris
bakal dipercepat. Soalnya, perusahaan Papa disana lagi kacau-balau. Terus, 9
hari kemudian, gue pindah. Sorry..”
“Yaelah,
len. Lo kan bisa sms gue, telfon kek”
“Hape
gue disita lan, sejak pas itu lo pinjem partitur ke gue. Mama gak pernah suka
gue temenan sama orang non-muslim. Tapi begitu kami pindah ke Paris, pemikiran
Mama berubah. Tapi terlanjur, meskipun Mama berubah pikiran, gue gak bakal
pindah lagi ke Indonesia.”
“Oh, sorry banget, len..”
“Itu 6
tahun yang lalu, kawan! Tenanglah”
“Merci,
len. Lo teman terbaik yang pernah gue kenal”
“Biasa aja ah, eh lo udah berkelana kemana aja
di Paris? Lo tau ini kita makan di jalan apa? Champs-Élysées, di arondisemen 8
tepi kanan, ada Avenue des Champs-Élysées, taman abad ke 17 yang disulap jadi
jalan antara Concorde sama Arch de Triomphe, katanya sih ini jalan terindah
didunia, makanya dijuluki la plus belle avenue du monde. Terus gue tau tempat
tempat yang keren lho. Ada Les Invalides, museum dan pemakaman tentara
Perancis, kayak Napoleon. Terus ada, Musee de Louvre, galeri seni terbesar,
lukisan Monalisa, ada disana! Terus.. terus… Arch de Triomphe..”
“Take
me anywhere around Paris!!”
“Alaaah,
mentang-mentang udah di Paris..” Ia hanya tertawa cekikikan.
“Eh
lan! Lo masih inget janji lo yang nraktir gue sebulan di kantin gak?” aku
merecokinya dengan pertanyaan yang tibatiba melintasi benakku. Senyum masam
terukir di bibirnya.
“Ah,
itu lagi.. Kenapa? Lo mau gue bayar makanan ini semua?”
“Oh
enggak kok, jadi gini.. selama 6 tahun di Paris, gue belum pernah ke Disneyland
Resort Paris, sama Monte Carlo. Gini deh, lo bayarin gue tiketnya, cuma 20 euro
kok per-orang!” Ia membelalakkan matanya, lalu tersedak hebat.
“Kepingan
Alan dan Helen”
Sebait do’a
Terimakasih Tuhan
Telah
mempertemukan kami, sebagai sahabat. Telah mengantarkan kami ke gerbang masa
depan yang cerah.
Hari
hari berlalu, sangat indah, seperti dongeng. Semuanya telah baik-baik saja..
THE END
0 komentar:
Posting Komentar