Senin, 16 Maret 2015

Dua Keping Kisah Lama #2

Sabtu, 29 September 2012

Tujuh bulan berlalu.. Tali pertemananku dengan Helen yang dulu sempat terputus, kembali ku ikat, benar benar erat. Perlahan tapi pasti, kami saling berbagi, sebagai sahabat. Helen sendiri yang memintaku begitu, sama halnya yang ia lakukan dengan si Mumun yang ada di dunia maya. Kini, ia dan Mumun tak lebih dari kata kakak dan adik. Begitu akrab. Ia ingin aku begitu, ia bisa mengandalkanku dikala ia butuh, begitu juga denganku. Paling tidak ia tak terlihat seperti mengharapkanku. Lagipula, selama ini aku tidak menyesal bersahabat dengannya, sungguh. Helen sangat menyenangkan.

Pagi ini begitu cerah, namun mulutku masih menguap lebar. Semalam pukul 11.30, aku menyelinap keluar rumah dan pergi ke rumah Asya, sendirian tanpa Helen. Karena rumah Helen terlalu jauh, dan ini tengah malam. Hanya dukungan dan doa yang ia berikan untukku. Ya, tepat 29 September, Asya berulang tahun ke 16 tahun dan kabar baiknya ia sedang tidak di Semarang. Semalam, blackforest yang sengaja kupesan di toko roti “Strawberry” ku berikan padanya. Tulisan “Happy Birthday Asya Andrian” dari cream menghiasi permukaan blackforest yang begituuuu lezat. Beruntunglah, aku tak perlu bertemu orang tuanya dulu untuk bertemu Asya. Dia sendiri yang membuka pintu. Ia terlihat begitu berbeda, meskipun masih memakai piyama bercorak kartun Snoopy, ia masih tetap cantik. Ah, Asya tak pernah sedetikpun terlihat tak cantik. Rambutnya yang dulu pendek sebahu kini panjang melebihi rambut Helen. Wajahnya memancarkan sinar kedewasaan. Matanya semakin berkilau. Ia bahagia, sekaligus kaget. Karena aku tak memberitahu kedatanganku sebelumnya, tentu saja karena ini semua ide Helen demi kejutan untuknya.


“Happy Birthday, Asya!”
“A-a-alan, kau, astaga!”
“Aku orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun, kan?” Speechless, tatapan kami bertemu. Dengan senyum yang terukir sangat manis, ia berkata ‘ya’. Rasanya sama seperti saat aku mengungkapkan perasaanku, ingatanku melayang ke tiga tahun lalu. Ah, tapi tak mungkin, untuk saat ini biarkan perasaan rindu yang membuncah ku lepaskan. Ia menerima blackforest pilihan Helen dan tak henti henti mengucapkan terimakasih. Di teras depan rumahnya, percakapan rindu-pun mengalir. Tak lupa ku ceritakan tentang Helen, ia begitu terkesima. Akhirnya, dibawah terangnya rembulan dan mutiara kecil yang bertebaran di kelamnya permadani hitam, aku berjanji akan mempertemukannya dengan Helen, nanti sore.

Teng, teng, teng. Bel pelajaran berakhir berbunyi. Sekejap kantukku lenyap dan dengan semangat ku rapikan buku yang berserakan diatas meja dan memasukkannya ke dalam tas. Yap, pelajaran kimia terasa begitu membosankan dan lama, apalagi Pak Hendri tidak henti hentinya berbicara menjelaskan materi yang membuatku semakin terkantuk kantuk. Koridor kelas XI kini ramai dipenuhi anak anak yang bergegas ingin pulang. Dengan tubuh yang tergolong liliput, ku telusuri koridor menuju kelas IPS. Ya, aku dan Helen tak lagi satu kelas. Aku di XI IPA 5 dan Helen di XI IPS 1. Tampaknya Helen belum keluar kelas, tak seorang pun terlihat keluar dari ruang kelas lantai tiga paling ujung itu. Ah, sebaiknya kutunggu dia di lobi dekat tangga. 15 menit.. 20 menit.. Sosoknya masih saja belum muncul. Seharusnya jam segini seluruh pelajaran usai, batinku. Ku tatap layar handphoneku, memastikan Helen memberitahuku sesuatu bahwa ia akan pulang telat, tapi nihil. Layar handphone-ku masih kosong, tidak menunjukkan ada pesan masuk.

“Len, lama banget sih. Pelajaran apa?”

Sent! Dalam kurun waktu satu menit, hapeku bergetar..

“Geografi. Pak Azmi lagi kebakaran jenggot nih, ntar deh gue ceritain”

From : Helen

10 menit kemudian, koridor kembali ramai. Anak laki laki semuanya tertawa, meledak dan lari tunggang langgang menuruni tangga, menghindari kejaran dan sumpah serapah dari Pak Azmi, guru geografi. Helen-pun datang.
“Ada apa sih, len? Rame banget”
“Anak cowo tuh usil, masa iya tadi kan Pak Azmi lagi nerangin pake globe. Nah globenya itu lepas, kan bulet tuh kayak bola. Jadilah, diambil si Tomy dan dilempar lah, tendang lah. Gila kali! Terus Pak Azmi marah marah deh”
“Hahahaha! Seru ya? Tadi gue bosen banget pelajaran kimia”
“Kasian deh! Eh, semalem sukses kan?”
“Iya len! Banget! Terimakasih banyak ya! Ada kabar baik, si Asya minta ketemuan sama lo len! Semalem aku cerita tentang kamu, dia terpesona katanya. Nanti sore, di McD bisa kan?”
“Wah bisa banget tuh! Tapi traktiran kan?”
“Yaelah, len. Lo ini memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Yaudah deh.”
“Thanks Alaaan, eh pulang yuk. Gak sabar nih ntar sore”
“Sipp!”
Ah, membayangkan nanti sore membuat hatiku gundah, tak sabar. Ku yakinkan diriku, takkan ada hal buruk yang akan terjadi. Semuanya akan baik-baik saja.

Ku tatap diriku di cermin yang menempel di dinding kamar. Kaos, oke. Jeans, oke. Rambut, oke. Apalagi ya yang kurang? Oya, kacamata. “Mamaaa, tadi aku naruh kacamata dimana ya?” “Di hatimu, nak!” jawab mamaku yang sibuk menonton re-run siaran Indonesian Idol. Ah, mamaku memang begitu. Jangan pernah tanya apapun jika ia tengah menonton acara Indonesian Idol, jawabannya pasti selalu berkisar tentang gombalan anak remaja. Drrrt.. Drrtt..

“Lan, lo lama banget. Gue udh di Mcd, sm Asya nih. Dia cantik bgt lho, buruan gih!”

From : Helen

Deg! Helen? Kusambar kacamata yang tergeletak manis di atas meja belajar, dan segera mengambil kunci motor sebelum..
“Lan, jangan sampai malam lho ya. Inget, ke gereja!” pesan mama.
“Iya, ma! Alan berangkat dulu ya?”
Pikiranku kacau. Helen benar benar konyol, dan lebih konyol lagi, ia telah bertemu Asya. Sungguh, aku tak bisa membayangkan, akankah mereka akrab atau justru bertentangan dan ketika aku tiba mereka tengah menjadi tontonan gratis. Toh bagaimanapun juga, meski Helen sahabatku, perasaannya belum berubah, ia tetap mencintaiku. Membayangkan hal buruk membuatku hampir menghantam polisi tidur. Tuhan, jangan sampai itu terjadi. Bukankah semua akan baik-baik saja? 10 menit kemudian..
“Lama banget lan? Dandan dulu ya? Dasar!” ledek Helen seraya menikmati cheese-burgernya.
“Apasih, len? Sorry tadi gue nyariin kacamata” jawabku ringan sembari berjalan menuju Helen yang duduk di sofa paling pojok. Kemudian, aku duduk di samping Asya, yang sedari tadi menunduk. Ia terlihat mempesona, dengan gaun putih yang ia kenakan. Beda sekali dengan Helen yang memakai kaos ungu dan jeans lututnya.
“Hey, sya. Kok nunduk, ada apa?”
“Eh, enggak kok lan”
“Eh len, udah ngucapin happy birthday ke Asya belum?”
“Helen udah ngucapin kok, lan. Kamu nggak salah pilih teman, dia baik banget. Makanan di depan ini, semuanya di traktir sama Helen.”
“Ha?”
“Lo kelamaan sih, lan! Kan nggak enak, kita kita udah nungguin bermenit menit, nggak pesen makanan. Kayak orang hilang aja. Lagian, anggep aja ini hadiah gue buat Asya. Toh jarang jarang gue bisa ketemu cewe secakep dia.”
“Ah, len, apa apaan sih” kata Asya.
“Wah, tumben baik len! Berarti gue kagak jadi traktir dong!”
“Eh, eh.. Ya enggak dong, lo tetep nraktir gue, di kantin selama sebulan!”
“Sebulan? Tega lo, len!”
“Biarin” “Helen tega deh. Jangan – jangan lo yang bikin Asya nunduk terus gini, iya kan?”
“Ih, enak aja!”
“Terus Asya kenapa nih? Sya, lo lagi nggak sakit kan?”
“Umm, ehm..”
“Ada yang beda sama lo, sya. Lo kenapa?”
“Lan…”
“Udah sya bilang aja, ini yang terbaik kok” Helen berhenti mengunyah cheese burgernya, dan ia tersenyum. Asya membalasnya dengan tatapan menerawang, bertanya tanya apakah ini saat yang tepat?
“Lho, ada apa ini?” tanyaku diselimuti keheranan. Bagaimana tidak? Helen dan Asya baru pertama kali bertemu, dan kini mereka bersikap seolah menyembunyikan sesuatu.
“Len..” sekali lagi, Asya menengok ke arah Helen, yang hanya dibalas senyuman. Ada sebutir penyesalan dihatinya tapi ia tau mungkin ini yang terbaik. Serpihan ketakutan dengan apa yang akan terjadi bergelayut di pikirannya. Matanya sayu. Kemudian, ia menarik nafas panjang, perlahan tapi pasti. Lalu, menegaskan hatinya bahwa apa yang dikatakan Helen benar. Ini yang terbaik. “Lan, aku minta maaf..”
“Kamu salah apa?”
“Jangan potong pembicaraannya, kawan!” teriak Helen, begitu saja. “Ba-baiklah” aku kaget. Asya mengamati butiran kristal kecil yang mengalir di permukaan gelas Mocca Float-nya, lalu menatapku lagi, sangat dalam.
“Aku menghargai apa yang kamu lakukan semalam. Kau teman terbaikku, lan. Tapi..”
“Ya?”
“Tapi sekali lagi kau hanya kepingan masa laluku. Aku ingin mengatakan hal ini sejak dulu, tapi aku takut. Aku takut kau tidak bisa menerima kenyataan, aku takut.. kau akan membenciku, dan menganggapku tak lebih dari amuba. Sungguh, aku menghargaimu, tapi sebagai teman, sahabat. Kemudian, aku bertemu Helen. Pertama kali bertemu dengannya, aku menyukainya. Ia begitu baik, ramah. Tak sadar, aku menceritakan apa tujuanku sebenarnya mengajakmu kemari. Lalu, Helen mengatakan padaku kalau kau kuat. Kau takkan rapuh, dan ia berkata semua akan baik-baik saja.”
“Maksudmu?”
“Aku tak mencintaimu lagi, lan. Kau masa laluku” Sederet kata yang keluar dari mulutnya begitu tajam, hingga menghujam kepingan hatiku.
“Dan, aku… telah menemukan penggantimu.” Klasik!
“Baguslah kalau begitu”
“Lan…” Sekelumit rasa kecewa menghantam otakku. Kini, aku menatap Helen, ia masih tersenyum. Benar apa kata Helen, ini yang terbaik.
“Lan, aku benar benar menghargaimu”
“Kau sudah mengatakan itu” Ia menunduk lagi.
“Baiklah, kurasa aku akan pergi sekarang. Nanti malam aku harus siap-siap kembali ke Semarang. Makasih banyak, lan, len. Sampai jumpa!”
“Semoga perjalananmu menyenangkan!” Helen memeluk Asya. Pemandangan yang sendu. Kemudian, berbalik mengarah padaku dan berjabat tangan, erat sekali.
“Baik-baik disana ya, sya!” Ia pergi, sosoknya hilang dari tatapanku, meninggalkan sejuta kerinduan yang masih terpendam.
“Kau takkan meluapkannya disini, kan? Ayo, kita pergi. Aku tau tempat yang bagus untuk keadaanmu sekarang” Dan ia membawaku pergi ke suatu tempat, entah dimana.

“Sampai” Panorama alam terpotret di mataku yang dibingkai lensa kacamata. Ya, Helen membawaku ke bukit kecil, dekat rumahnya. Pohon rindang berjejeran, matahari tampak di ufuk barat, memberikan sentuhan aurora merah kejinggaan pada luasnya langit yang dihiasi gumpalan kapas putih yang berserakan. Pemandangan yang asri, indah sekali. Disebelah timur, kawasan perumahan “Pondok Jati”, berjejeran rumah rumah beraksen minimalis, namun mewah. Sebuah komplek yang elite.
“Yuk, kesana” Helen berlari, dengan nafas terengah engah ku kejar dia. Kemudian ia berhenti, memandang pohon yang kelihatannya paling besar, paling kokoh sendiri.
“Teriak sana!” katanya.
“Apa?”
“Iya, lo teriak. Biar lega” “
Tapi, gue gak..” “
Percaya sama gue!” Absurd, namun kuturuti perintahnya. Dengan sekuat tenaga dan otak yang masih ‘agak’ kacau, aku teriak. “Aaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!”
“Lagi!”
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!! Asyaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!! Lo tega syaaaa!!!”
“Hah? Kok tega? Dia kan hanya mengatakan yang sebenarnya”
“Tapi itu ampuh banget bikin hati gue tercabik-cabik tau nggak!”
“Gausah melankolis lan. Ayo, move on!”
“Gakbisaaaaaaaa!!”
“Terus, kapan lo mau hidup di masa depan? Asya aja bisa, gue juga. Lo harus bisa dong!”
“Helen…”
“Gue tau lo bisa, pasti bisa!”
“Tapi gue ga akan pernah bisa, Asya terlalu..”
“Past is past. Don’t think too much about it, never let it bring you down from pursuing your dream. Just learn”
“Helen..”
Drrrtt… Lagu Waiting Outside the Lines mengalun dari handphonenya. Panggilan masuk. Kemudian..

“Lan, sorry banget. Gue disuruh balik sama mama. Sorry, cuma bisa bantu lo segini. Kalo lo masih butuh bantuan gue, nanti mampir ke perumahan itu. Blok F, nomor 13. Bye!”
“Len..”
“Ya?”
“Makasih banyak ya..” Jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul 16.40. Belum terlalu gelap. Ku rebahkan diriku di rerumputan dan memejamkan mata, menikmati hembusan angin dan mencoba melupakan kenangan getir tiga tahun yang lalu.

Bel rumah bercat kuning dan beraksen minimalis telah ku tekan berkali-kali. Namun, satupun penghuni rumah tersebut tak kunjung keluar. Ku teriakkan nama Helen berulang kali, agak tak sopan memang. Tapi, daripada aku membuang waktu lebih lama lagi, ku ambil jalan pintas dengan meneriakkan namanya. Akhirnya pintu terbuka..
“Eh, Alan, sorry nunggu lama.” Ia tergopoh gopoh berlari membuka pagar dan mempersilahkanku masuk.
“Ada apa?”
“Mau pinjem partitur lagu ‘second you sleep’ buat padus besok. Punya gue ilang. Boleh nggak?”
“Oh, bentar ya”
Dua menit kemudian, ia menuruni tangga spiral sembari memegang kertas pesananku, partitur. Seorang wanita berumur kira kira 38 tahun keluar dari dapur, membawa setumpuk kardus. Ia menoleh ke arah Helen, lalu ke arahku. Tiba-tiba tatapannya berubah dingin. Ia menjatuhkan kardusnya dan bunyi gemerincing berderu hebat dari dalam kardus, nampaknya kardus itu berisikan ratusan sendok, atau garpu.
“Siapa dia, len?” tanyanya. “
Temen Helen, ma. Ini lagi minjem partitur” ternyata Mamanya.
“Namanya?”
“Nama saya Alan, tante”
“Non-islam ya? Kristen? Katholik?” aku dibuat bingung dengan pertanyaan absurd itu. Tatapannya semakin dingin, penuh aura kebencian. Helen hanya menunduk.
“Kristen.”
“Helen, masuk kamar! Dan kamu, silahkan pergi dan jangan pernah datang ke rumah ini lagi!” Aku tersadar, bisikan suara Helen menggema di telingaku “Aku Islam. Kamu Kristen. Mamaku akan murka jika tau hal ini”

Sabtu, 27 Oktober 2012

 Sebulan berlalu.. Semenjak kejadian kala sore itu, Helen tak lagi mau berbicara denganku. Matanya selalu terlihat sayu, seakan menyembunyikan sesuatu yang tak ingin ku ketahui. Lalu, seminggu kemudian. Ia hilang, bagaikan ditelan bumi. Ia tak lagi berangkat sekolah. Rumahnya pun terlihat sepi, kosong. Tak ada surat, tak ada kabar. Kutanyakan perihal ini pada Fandi, teman sekelasku dulu. “Lo nggak tau ya? Dia kan udah pindah, ngikut orang tuanya ke Paris.” Tak pernah secuil-pun ia membicarakan tentang ini. Ia pergi begitu saja, tanpa meninggalkan jejak. Dan yang lebih kronis lagi, semua teman-temanku sudah mengetahuinya. Hanya aku, aku teman dekatnya, sahabatnya yang tak pernah tau kepindahannya. Takkan ada lagi, seseorang yang akan menggantikan sosoknya, canda tawanya, muka polosnya. Terlebih, rambut kelamnya. Hanya satu Helen yang ku tahu, Helen Putriana Shary. Takkan ada lagi, Helen lain yang seperti Helen. Didalam suasana gereja yang kudus, aku termenung.

“Aku percaya kepada Allah Bapa yang Maha Kuasa, khalik langit dan bumi. Dan kepada Yesus Kristus AnakNya yang tunggal Tuhan kita.”
“Yang dikandung dari Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria. Yang menderita sengsara dibawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun dalam Kerajaan Maut.”
“Pada hari yang ketiga, bangkit pula dari antara orang mati. Naik ke sorga, duduk disebelah kanan Allah, bapa yang Maha Kuasa. Dan dari sana Ia akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.”
“Aku percaya pada Roh Kudus. Gereja yang kudus dan am, persekutuan orang kudus. Pengampunan dosa. Kebangkitan daging. Dan hidup yang kekal.”
“Tuhan, lindungilah temanku dimanapun ia berada. Biarkan kami menyongsong, meraih secercah harapan untuk masa depan. Tuhan, pertemukanlah aku dengan dia, suatu saat nanti, entah kapan”


“Kepingan Helen”

Kamis, 28 Juni 2018

Semenjak La Ville lumière atau Kota Cahaya, ku singgahi 6 tahun lamanya, sosok Alan tak pernah lagi ku jumpai. Aku merindu. Rindu akan rumah lamaku di Pondok Jati, teman teman di Indonesia, masakan Indonesia, dan apapun yang kini tak bisa lagi ku temukan. Kini, aku bekerja paruh waktu dengan gaji besar sebagai ahli gizi, suatu bidang yang berlandaskan ilmu alam. Padahal, saat di Indonesia, aku dijebloskan ke jurusan IPS atau ilmu sosial. Collège de Sorbonne, universitasku di Paris mengantarkanku meraih masa depan yang ku dambakan. Kuhabiskan waktu senggangku untuk memandangi Sungai Seine, mengunjungi Musee de Louvre, Sacrè Cœur, Les Invalides, Arch de Triompe atau Grand Palais dan tempat wisata menarik lainnya. Satu satunya tempat yang belum terjajah adalah Disneyland Resort Paris, taman tema terbesar di Eropa. Seperti senja ini, aku tengah berdiri di Menara Eiffel, tepatnya di platform tertinggi, dimana aku bisa melihat semua arsitektur, semua pemandangan kota Paris yang terbentang sejauh mata memandang. Kuaduk tasku untuk merogoh uang receh, untuk alat yang bertengger di pagar besi, semacam teleskop. Kemudian, mendekatkan mataku ke lensa teleskop, menikmati bangunan yang tertata rapi.
“Notre Dame de Paris… Palais Garnier… Place des Vosges..”
Drrttt.. Handphone-ku bergetar, sebuah gambar surat kecil muncul seketika, menandakan SMS masuk. Ah, mama..
“Bonne journèe, Mama dan Papa pergi ke desa Barbizon, kemungkinan besar pulang besok siang. Baik – baik dirumah ya. Je t’aime” Selalu begitu. Sejak kepindahan keluargaku ke Paris, berbagai macam kesibukan memadati jadwal kedua orang tuaku. Tak sering kami berlibur bersama, meskipun tempat wisata disini tak terhitung jumlahnya. Dirumah, aku lebih sering menghabiskan waktu bersama Meredith, kucingku dan pembantuku asal Perancis, Madamoiselle Collete. Untunglah, Collete begitu baik dan pengertian. Setelah puas memandangi bentangan kota Paris, aku menelusuri toko miniatur dekat platform kedua. Berbagai macam pernak-pernik berbau Eiffel terpampang disini. Sebuah bola kristal yang didalamnya ada menara Eiffel menarik perhatianku.
“Combien est-il?”
“8 euro”
“Ce fonds. Merci”
“Merci” Aku pergi keluar toko, sebelum..
“Aw!” aku menabrak sukses, seorang pria oriental yang berjalan tergopoh gopoh.
“Dèsolè! Dèsolè! Que faites-vous tous?”
“Je vais bien”
“Dèsolè. Laissez-moi vous aider á” Ia membantuku berdiri, dan menenteng tas kecil belanjaanku di toko miniatur tadi.
“Vos trucs est endommagè. Je vais le remplacer” kata pria itu terbata-bata, jelas saja, gara gara tabrakan tadi, bola kristalku pecah. Aku kehilangan 8 euro.
“Pas besoin!” kataku, ia berniat menggantinya, tapi menurutku tak usah. Toh, aku masih bisa membelinya lagi. Ku tatap mukanya yang terasa tidak asing lagi, kemudian..
“Lo Alan ya? Indonesia?” tanyaku, spontan dan agak menjerit.
“Astaga! Helen!” muka keruhnya berubah menjadi muka bahagia, dalam sekejap. Begitupula aku, siapa sangka, kita akan bertemu lagi bahkan di Menara Eiffel, Paris!
“Helen Putriana Shary! Finally, I meet you!” ia memelukku.
“Lo ngapain disini, lan?”
“Gue, gue sukarelawan, len. Gue bakal kerja di yayasan Columbine. Menyelamatkan anak anak seluruh Perancis yang ingin sekolah. Hmm..”
“Hebat! Gue bangga, lan!”
“Lo sendiri kerja apa sekarang?”
“Ahli gizi di Charity Hospital.”
“Rupanya kita berhasil menggapai impian kita!”
“Yap! Mmm, udah berapa hari di Paris, lan?”
“Ini hari kedua, gue niatnya mau cari apartemen. Lo bisa bantu gue gak?”
“Wah, kebetulan banget. Deket rumah gue, ada apartemen tuh!”
“Merci, len. Merci”

Rasa bahagia melapisi permukaan hatiku. Di kota Paris ini, tepat di Menara Eiffel, aku bertemu dengannya! Wajahnya tak banyak berubah. Matanya tetap sipit dibingkai kacamata minusnya. Kulitnya pun tetap putih, hanya saja ia terlihat lebih tinggi. Rupanya, kegemarannya bermain basket membuahkan hasil. Kemudian, ku ajak dia kerumahku, di L’lle de la Citè, sekedar melepaskan penat, dan menghujaminya dengan topik seputar Paris. 2 jam kemudian, kami mengisi perut yang keroncongan di sebuah kafe di Champs-Élysées.
“Helen, gue mau nanya”
“Ya?”
“Kenapa lo gak ngasih tau ke gue kalo lo pindah ke Paris? Lo pergi gitu aja. Semua temen-temen tau lo pindah, tapi gue…enggak.” aku hampir tersedak Ratatouille yang tengah ku santap.
“Umm, ehm.. Sorry lan, gue.. sebenernya pas kita lagi di bukit, gue mau ngomong itu semua. Tapi Mama nelfon, inget? Dia bilang kepindahan keluarga gue ke Paris bakal dipercepat. Soalnya, perusahaan Papa disana lagi kacau-balau. Terus, 9 hari kemudian, gue pindah. Sorry..”
“Yaelah, len. Lo kan bisa sms gue, telfon kek”
“Hape gue disita lan, sejak pas itu lo pinjem partitur ke gue. Mama gak pernah suka gue temenan sama orang non-muslim. Tapi begitu kami pindah ke Paris, pemikiran Mama berubah. Tapi terlanjur, meskipun Mama berubah pikiran, gue gak bakal pindah lagi ke Indonesia.”
 “Oh, sorry banget, len..”
“Itu 6 tahun yang lalu, kawan! Tenanglah”
“Merci, len. Lo teman terbaik yang pernah gue kenal”
 “Biasa aja ah, eh lo udah berkelana kemana aja di Paris? Lo tau ini kita makan di jalan apa? Champs-Élysées, di arondisemen 8 tepi kanan, ada Avenue des Champs-Élysées, taman abad ke 17 yang disulap jadi jalan antara Concorde sama Arch de Triomphe, katanya sih ini jalan terindah didunia, makanya dijuluki la plus belle avenue du monde. Terus gue tau tempat tempat yang keren lho. Ada Les Invalides, museum dan pemakaman tentara Perancis, kayak Napoleon. Terus ada, Musee de Louvre, galeri seni terbesar, lukisan Monalisa, ada disana! Terus.. terus… Arch de Triomphe..”
“Take me anywhere around Paris!!”
“Alaaah, mentang-mentang udah di Paris..” Ia hanya tertawa cekikikan.
“Eh lan! Lo masih inget janji lo yang nraktir gue sebulan di kantin gak?” aku merecokinya dengan pertanyaan yang tibatiba melintasi benakku. Senyum masam terukir di bibirnya.
“Ah, itu lagi.. Kenapa? Lo mau gue bayar makanan ini semua?”
“Oh enggak kok, jadi gini.. selama 6 tahun di Paris, gue belum pernah ke Disneyland Resort Paris, sama Monte Carlo. Gini deh, lo bayarin gue tiketnya, cuma 20 euro kok per-orang!” Ia membelalakkan matanya, lalu tersedak hebat.

“Kepingan Alan dan Helen”
 Sebait do’a
 Terimakasih Tuhan
Telah mempertemukan kami, sebagai sahabat. Telah mengantarkan kami ke gerbang masa depan yang cerah.
Hari hari berlalu, sangat indah, seperti dongeng. Semuanya telah baik-baik saja..

THE END

0 komentar:

Posting Komentar