Kamis, 13 Agustus 2015

Selesai.

Lembar demi lembar ku buka. Buku kecil usang itu penuh dengan coretan kisah masa remajaku, lebih tepatnya masa SMA. Guratan pena melontarkan huruf demi huruf membentuk kata dan berpadu merangkai kalimat. Bercerita tentang bagaimana dulunya aku berambisi menjadi yang terbaik di seantero kelas, tentang bagaimana rasa kecewa kala terdepak dari ekstrakulikuler bergengsi hanya karena aku bukan "dia" yang populer. Pun bagaimana aku memutuskan keluar dari organisasi hanya karena sesuatu yang cukup sepele, dan berkali - kali menjadi acuanku hingga akhirnya aku berhasil menebus kesalahan itu, dengan  menjadi ketua departemen sebuah organisasi di kampus. Dan semua program kerjaku berjalan lancar.

Namun sama seperti gadis lainnya, masa remajaku tak luput dari sesuatu yang bernama cinta. Aku merasakan rasa suka dan kagum berkali - kali, dan berhenti di satu titik, satu huruf berawalan D, bahkan hingga kini aku masih mencintainya. Teman sekelasku di masa SMA pula, yang sibuk menatap papan tulis dan mencatat. Membuka buku, dan belajar. Kau tidak lebih dari akademis, namun juga aktivis. Di sela - sela padatnya waktu belajar, kesibukanmu menjadi pengurus di organisasi berkelas, dan atletis di ekstrakulikuler, tidak menyurutkan sinarmu. Prestasimu tetap gemilang. Tak heran saat prom night, kamu berdiri gagah dengan suitan jas dan setangkai mawar putih dalam genggaman, kamu berdiri gagah dan bangga sebagai murid teladan. Kamu selalu menjadi bintang, di hati guru - guru, teman - temanmu, tanpa terkecuali aku.

Aku yang tak pernah kau sapa ataupun kau ajak berdiskusi. Yang hanya melengos pergi saat aku meminta bantuan. Yang tetap menatap kosong saat aku menginjak 17 tahun, dan teman -  teman disebelahmu bergantian menjabat tangan, memberi ucapan selamat. Kamu, sekedar menolehpun tidak. Yang membantuku mengerjakan soal saat menuju ujian, namun tidak membalas saat aku berterimakasih. Yang tetap melenggang pergi tanpa bertukar senyum saat berpapasan. Ah, aku tahu. Perlakuan dinginmu tak lebih karena ejekan kala kita mengerjakan proyek itu. Dan sejak itu, kita tak lagi bertukar sapa.

Seiring berjalan waktu sikapmu kembali hangat hingga hari kelulusan tiba. Hari yang aku tahu, hanya akan ada beberapa kesempatan untuk dapat berjumpa denganmu kembali. Beberapa, bahkan mungkin tidak. Karena kita terlalu sibuk dengan perjalanan hidup menuju masa depan, demi senyum orang tua yang terukir saat kita akhirnya memakai toga dengan bangga. Kembali berdiri tegak dengan gelar sarjana teknik kita. Dan hingga saat itu, aku masih saja mencintaimu. Masih saja mencintaimu, meski tidak satupun aku bertukar kabar denganmu.

Aku tersenyum, kembali memfokuskan dengan lembaran diary yang ku temukan di rumah lamaku. Aku baru kembali sebulan yang lalu dari pekerjaan proyekku di Sweden. Kembali pulang untuk sesuatu yang penting. Mengistirahatkan otot yang terlalu lama bekerja, mata yang terlalu lama berkutat pada layar, menelisik satu demi satu gambar pipa, berpindah dari apartemen menuju lokasi proyek. Setiap hari begitu.
Kembali pulang ke kota kelahiran. Ke pangkuan Ayah dan Ibu yang usianya semakin senja, namun jiwanya tetap hangat nan kokoh demi anak - anaknya. Bersendau gurau dengan adik yang beranjak dewasa. Ah, sudah lama sekali rasanya…

Aku menyesap secangkir teh hangat yang ibu sediakan pagi ini. Teh kesukaanku. Kemudian kembali mematut diri di depan cermin dan menghela nafas. Jantungku berdegup hebat. Diary cokelat usang masih dalam genggamanku, masih membuka lembarannya yang kian menguning. Hingga jatuh di halaman terakhir. Kosong. Dan ku tutup segera ketika ku dengar seseorang mengetuk pintu kamar.

"Andis, bergegaslah! Kau tidak ingin pengantin pria menunggu kan?" suara lantang Kayla, adikku, menerobos pintu kamar dan menusuk gendang telingaku seketika. Kemudian, ia membuka pintu.
"Sabarlah, beberapa menit takkan masalah baginya. Lagipula, masa menunggu kami sempurna selesai. Tidak akan ada lagi setelahnya. Hmm, kurasa 10 tahun bukan waktu yang cukup lama, ya? "

Ya, pagi ini pernikahanku dengan Damar, dan aku tidak pernah merasa sebahagia kali ini. Kurasa aku tahu apa yang akan ku tulis di lembar kosong terakhir di diary usangku. Love, D.



Kamis, 30 April 2015

Rinduku Pulang

POV 1

Bulir hujan merayap pelan membasahi permukaan kaca jendela. Aku melepaskan kacamata, menyeka kedua  mataku. Lelah. Pikiranku menguar, mataku menjamah tiap petak petak hamparan sawah dibalik suara hujan yang kian menderu.
"Ada yang perlu diselesaikan" batinku. Jemariku sibuk menari diatas layar ponsel,
merangkai huruf demi huruf, membentuk kata, dan akhirnya memoriku jatuh dalam satu sosok yang seharusnya kini ku lupakan.
Karena jauh di kampus selatan sana, rinduku akan pulang.

Senin, 16 Maret 2015

Dua Keping Kisah Lama #2

Sabtu, 29 September 2012

Tujuh bulan berlalu.. Tali pertemananku dengan Helen yang dulu sempat terputus, kembali ku ikat, benar benar erat. Perlahan tapi pasti, kami saling berbagi, sebagai sahabat. Helen sendiri yang memintaku begitu, sama halnya yang ia lakukan dengan si Mumun yang ada di dunia maya. Kini, ia dan Mumun tak lebih dari kata kakak dan adik. Begitu akrab. Ia ingin aku begitu, ia bisa mengandalkanku dikala ia butuh, begitu juga denganku. Paling tidak ia tak terlihat seperti mengharapkanku. Lagipula, selama ini aku tidak menyesal bersahabat dengannya, sungguh. Helen sangat menyenangkan.

Pagi ini begitu cerah, namun mulutku masih menguap lebar. Semalam pukul 11.30, aku menyelinap keluar rumah dan pergi ke rumah Asya, sendirian tanpa Helen. Karena rumah Helen terlalu jauh, dan ini tengah malam. Hanya dukungan dan doa yang ia berikan untukku. Ya, tepat 29 September, Asya berulang tahun ke 16 tahun dan kabar baiknya ia sedang tidak di Semarang. Semalam, blackforest yang sengaja kupesan di toko roti “Strawberry” ku berikan padanya. Tulisan “Happy Birthday Asya Andrian” dari cream menghiasi permukaan blackforest yang begituuuu lezat. Beruntunglah, aku tak perlu bertemu orang tuanya dulu untuk bertemu Asya. Dia sendiri yang membuka pintu. Ia terlihat begitu berbeda, meskipun masih memakai piyama bercorak kartun Snoopy, ia masih tetap cantik. Ah, Asya tak pernah sedetikpun terlihat tak cantik. Rambutnya yang dulu pendek sebahu kini panjang melebihi rambut Helen. Wajahnya memancarkan sinar kedewasaan. Matanya semakin berkilau. Ia bahagia, sekaligus kaget. Karena aku tak memberitahu kedatanganku sebelumnya, tentu saja karena ini semua ide Helen demi kejutan untuknya.

Dua Keping Kisah Lama #1

Note; cerpan ini dibuat pas kelas 10, pas jaman alay alaynya. Overall, ceritanya panjang banget dan boring. Ga ada gregetnya di alurnya, ya whatever jaman kelas 10 masih labil labilnya haha. Beberapa plot disini gabungan dari pengalaman nyata, makanya absurd.


“Kepingan Alan”

Senin, 30 Januari 2012 “Namanya Asya. Dia cantik, rambutnya panjang, keturunan setengah Jawa dan setengah Cina dan tentunya dia muslim. Aku mencintainya, sungguh. Tiga tahun yang lalu, aku mengungkapkan semua yang ku rasakan. Betapa aku menyayanginya. Dan dengan senyum yang teramat manis, ia menjawab ‘ya’. Singkat, tapi cukup untuk meledakkan hatiku. Sejak itu, kami berpacaran, lamanya dua tahun. Saat kami melanjutkan sekolah ke jenjang SMA, kami berpisah, ia berusaha menggapai cita citanya dengan bersekolah di SMK Farmasi, Semarang. Dan karena itu, kami harus mengakhiri kisah yang telah kami ukir bersama, pacaran jarak jauh pantang bagi kami. Tetapi meskipun begitu, aku tetap mencintainya.”

 Suitan terdengar membahana di kedua indra pendengarku, muka sumringah di tatapanku terlukis jelas. Semuanya kini menyorakiku. Kulangkahkan kakiku menuju bangku di temani sorakan tiada henti. Bahkan guruku Bahasa Indonesiaku, Bu Dwi, hanya nyengir kuda saat aku sibuk menghayati setiap ucapanku tadi. Ya, hari ini, Bu Dwi memberi tugas dadakan untuk menceritakan masa lalu, didepan kelas. Andre, teman sebangkuku, menceritakan bagaimana ia mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan seluruh koleksi komik Jepangnya dari ibunya sendiri, dan pada akhirnya ibunya menyita seluruh komik yang jumlahnya tiga kardus! Vanesa, betapa ia menyayangi ibunya. Kami semua terlarut dalam kesedihan yang ia rasakan empat tahun lalu, saat ibunya mengalami kecelakan yang hampir menyebabkan kakinya patah.

Sweet of Jingga, Rinai, Annora

Namaku Jingga. Dalam rindu yang tersemat manis dibalik satu senja, ku ceritakan kisah manis tentang aku dan rekahan kelopak hatiku yang mencercah sinar mentari, di sebuah sudut kota.

Namaku Rinai. Dalam secangkir cappucino yang di sajikan di sudut café dibalik semburat jingga, ku lantunkan nyanyian elegi tentang aku dan petikan harmoni hatiku yang merindu satu nada, di sebuah sudut kota.

Namaku Annora. Dalam belati yang menyayat merah  di balik temaram cahaya, ku goreskan lukisan abstrak tentang aku dan kanvas hatiku yang melangkah gontai, di sebuah sudut kota.


Ini kami dan secarik siluet kisah, tentang sakit hati.


PS :
Sedikit cuplikan tentang Kisah Jingga, Rinai, dan Annora. Doakan penulisnya istiqomah di sela sela kesibukannya. Well, kali ini, sakit hati begitu menginspirasi <3 p="">

Kamis, 19 Februari 2015

Piece of cake about me

50 fakta tentangku? Bolehlah kalian tau, tapi don't judge!
  1.  Simply, anaknya pemalu, krik krik dan butuh adaptasi lama. Tapi kalo udah akrab? Hahaha sampe lupa malu itu apa
  2. Cinta mati sama Harry Potter, disihir sama alur dan kehebatan berfikir bunda Jo
  3. Punya gadget dominasi warna putih
  4. Mahasiswi ITS, setengah nyasar di Teknik dan keinginan hati pengen masuk Sastra. Tapi yoweslah
  5. Ga bakal pernah bosen dengerin Taylor Swift nyanyi, bang Adam Levine boleh juga sih
  6. Alumni HPFI angkatan 2010. HPFI of The Week ke 9
  7. Mati kutu sama satu lagu, Love Somebody-nya Maroon 5
  8. Makanan favorit? Ketoprak.
  9. Lahir di Sengkang, Sulawesi Selatan. 16 Desember 1996.
  10. Berjilbab dari TK alhamdulillah.
  11. Outfit always pink
  12. Tergila gila sama angka 13
  13. Ice cream lover, walau badai menerpa

Sabtu, 03 Januari 2015

Entah

Aku tak tahu ini apa
Kamu, yang memintalku kelegaan saat aku melantunkan elegi
Kamu, yang memaksaku merangkai skenario canda tawa dalam imajinasi saat aku disesap kelabu
Kamu, dan matamu, dan kanvas itu yang mengulas senyuman dibawah kendali cerebrumku
Kamu, yang mengajariku untuk melawan takut akan ketinggian
Kamu, yang mengajariku mengembalikan semangat menulisku
Kamu, yang memaksaku melukis pelangi bahkan saat aku tak tahu warna apa yang kan ku ambil
Kamu, yang ku tahu, selalu bentangkan sayapku


Karena kamu, tokoh utama metropopku.